English English Indonesian Indonesian
oleh

Gurita: Komoditas Eksotik Bernilai Global

Oleh : Adhy Cahya Slamet, Pejabat Fungsional Analis Pasar Hasil Perikanan Ahli Madya pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan

Jika anda adalah penikmat kuliner berbasis ikan dengan cita rasa tinggi dan bergizi, maka pilihan terhadap gurita adalah pilihan yang tepat.  Di Korea Selatan makanan berbahan baku gurita disajikan dalam olahan makanan yang sangat  populer seperti “nakji  bokkeum” atau gurita goreng pedas maupun “jjukumi”  atau baby octopus bakar sebagai makanan favorit di musim semi.  Akan halnya Jepang, makanan olahan dari gurita yang sangat terkenal dan mendunia adalah “takoyaki” yang disajikan sebagai cemilan dalam berbagai suasana. 

Di daratan Eropa, beberapa menu  olahan populer seperti “folfetti” di Italia dan “hobotnica ispod peke” dari Kroasia dan “polvo a lagareiro” dari Portugal adalah indikasi betapa komoditi gurita mempunyai cita rasa  kuliner dalam skala global.  Infografis Balai Besar Karantina Ikan Dan Pengendalian Mutu Perikanan mencatat,  selama 2021 ekspor gurita Sulawesi Selatan sebesar 3.906 ton dengan nilai 304,7 milyar rupiah dan berkontribusi 2,2 % terhadap total ekspor komoditi perikanan dari daerah ini dengan tujuan utama ke USA, Italia dan Rusia.  Dan dalam  kurun waktu 2018 – 2022, gurita tetap eksis berkontribusi sebagai komoditi ekspor selain rumput laut, udang vannamei dan tuna – tongkol – cakalang.  Melihat trend atas komoditi dimaksud guna menjamin keberlanjutan baik dari sisi ekonomi dan ekologi sumberdaya ikan, maka selayaknya diperlukan analisis pendekatan yang merujuk pada ekonomi biru.

Penerapan Sistem Kuota

Gurita adalah species yang perkembangannya lambat, karena mulai dari proses bertelur hingga ukuran konsumsi dibutuhkan waktu lebih dari setahun lamanya untuk pertumbuhan.  Untuk mendukung pertumbuhan, syarat ekosistem karang sebagai wilayah asuhan menjadi penting diajukan.  Termasuk tatacara penangkapan yang lebih mengedepankan aspek kontinuitas dan kualitas dibandingkan produktifitas.  Apalagi kebijakan penangkapan terukur yang diinisiasi kementrian kelautan dan perikanan sebagai syarat ekonomi biru dan berkelanjutan telah diadopsi dalam implementasi. 

Hal lain yang menjadi pengingat adalah regulasi  yang mengharuskan ada jaminan ketertelusuran bagi komoditi perikanan yang dilalulintaskan baik dalam skala lokal, regional dan global. Dan sistem tersebut berbasis hulu – hilir.  Menginisiasi sistem kuota penangkapan memang bukanlah barang baru bagi wilayah subtropis, tetapi bagi wilayah tropis meski keanekaragaman sumberdaya tinggi dibutuhkan pengendalian utamanya potensi lestari dan mereduksi konflik sosial dalam area penangkapan yang sama – mengingat tidak semua perairan laut Sulawesi Selatan merupakan habitat gurita. 

Penerapan sistem kuota dimaksud berbasis pada 3 hal yaitu maximum sustainability yield, maximum economic yield dan growth.  Maximum Sustainability Yield (MSY) adalah variabel terhadap total yang bisa ditangkap, sedangkan Maximum Economic Yield adalah variabel yang mengukur produktifitas usaha dan growth adalah indikator yang menunjukkan variabel gurita apakah bertumbuh normal atau sebaliknya.  Indikasi ini  diperkuat oleh laporan Yayasan Konservasi Laut untuk studi kasus perikanan gurita di Pulau Langkai Lanjukkang Juli 2020 – Juni 2021 bahwa ukuran yang tertangkap persentase terbesar didominasi gurita kecil dengan berat dibawah 2 Kg.

Kolaborasi Manajemen Rantai Pasok

Syarat utama kolaborasi manajemen dalam pengelolaan bisnis gurita adalah berbasis hulu hilir, maksudnya adalah pelaku utama, pelaku usaha dan distribusi tataniaga duduk dalam kendali manajemen terpadu.  Manajemen terpadu dimaksudkan sebagai jaminan rantai pasok baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas produk yang dihasilkan. Artinya ada transparansi dan tanggung jawab diantara para pihak dalam pengelolaan bisnis gurita dalam melakukan identifikasi dan evaluasi dalam memanfaatkan peluang pasar sekaligus memberi solusi atas tantangan global. 

Hal mendasar yang biasanya menjadi tantangan dalam ekspansi bisnis  adalah syarat pasar global yang menghendaki adanya ketertelurusan produk dan standarisasi  mulai dari pra produksi hingga pasca produksi.  Peran inilah yang menjadi titik temu dalam kolaborasi manajemen dan itu  artinya peran para pihak, tidak berdiri sendiri dan saling menjamin dalam distribusi rantai pasok.  Akan halnya sisi penentuan harga yang kadang menjadi dilema tersendiri di tingkat nelayan, sejatinya akan berlaku secara fair dan lebih penting lagi adalah adanya jaminan pertumbuhan organisme untuk menunjang keberlanjutan dalam eksploitasi.  Karena kelebihan dalam eksploitasi adalah ancaman serius bagi kelanjutan bisnis gurita ini, dan unsur pengendalian merupakan bagian yang dikedepankan.  Sebagaimana mana yang ditunjukkan data Yayasan Konservasi Laut bahwa dominasi gurita yang tertangkap adalah ukuran kecil, meskipun bernilai dari sisi ekonomi tetapi indikasi akan populasi sudah perlu menjadi prioritas kebijakan. Semoga. (*)

News Feed