English English Indonesian Indonesian
oleh

Mendengar dan Memahami Polemik Keseharian Bissu

OLEH: Jessy Ismoyo, PhD Student in Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada (UGM)

Project Budaya Bone adalah inisiatif yang dibentuk oleh Kelompok Peneliti Bissu — bekerja sama dengan Kerukunan Waria dan Bissu Bone (KWRB) sebagai wadah untuk menumbuhkan sikap toleran, keterbukaan budaya, dan inklusif terhadap keberagaman identitas. Lewat Proyek Skala Kecil Indonesia Timur 2, Project Budaya Bone menyasar pada akseptansi dalam kemajemukan masyarakat Bugis yang semakin permisif terhadap perbedaan, terutama terkait gender dan seksualitas.

Project Budaya Bone berusaha untuk membangun harmoni sosial, menumbuhkan rasa saling percaa (trust), dan toleransi lewat solidaritas mekanik, dengan menumbuhkan pertemuan lintas-agama dan lintas-budaya sebagai jembatan untuk membangun nilai kebersamaan lewat tradisi kearifan lokal masyarakat Bugis. Dengan berusaha membangun toleransi, Project Budaya Bone menekankan pada prinsip orang Bugis yang dikenal dengan Assimellereng dalam Pangaderreng.

Untuk itu, Sesi pertama akan dimulai dengan menghadirkan Pemimpin Bissu dari 4 (empat) kabupaten di Sulawesi Selatan untuk mendengarkan pengalaman mereka dalam menghadapi polemik di kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu, sesi ini juga berusaha mengungkap bagaimana daya lenting mereka muncul dengan liat, bergantung pada konteks tempat dan waktu yang berbeda.

Sesi ini dimulai dengan keresahan ketika melihat karya visual Claire Holt, seorang peneliti asal Prancis, yang karyanya bisa diakses secara publik di situs KITLV. Hal membuat mengernyit ketika membaca tulisan catatan lapangan di Segeri, pada 1939, ia kurang lebih mendeskripsikan Bissu seperti berikut: “Ketika keempat Bissu muncul dari ruang dalam, kesan pertama adalah kemenoran yang aneh. Kami sadar kemudian bahwa kesan ini disebabkan oleh ketakcocokan antara perhiasan feminin yang mereka pakai dan air muka keras, kulit gelap, dan pundak dan lengan yang menonjol.” Usaha untuk menangkap realitas Bissu pada saat itu membingkai Bissu Segeri pada bingkai terbatas antara tubuh yang maskulin dan atribut feminin, yang kemudian dianggap aneh dan tidak sesuai. Interpretasi Holt melepaskan Bissu Segeri dari pengalaman atas tubuh, identitas, dan subjektivitasnya.

Masa ke masa, para pemerhati budaya/budayawan, peneliti/akademisi, pekerja seni/seniman, tokoh adat dan agama soal definisi dan makna ‘Bissu.’ Mengutip Suryajaya[1], terminologi Husserl menyebutnya noematic nucleus — supaya ‘makna tetap bermakna’, ‘makna’ harus memiliki elemen permanensi, kekonstanan, dan kemurnian. Setiap usaha yang dilakukan untuk mendefinisikan dan memaknai ‘Bissu’ jadi hanya berpusat pada terminologi Husserl saja. Makna (harus) sama dan tidak tak lekang oleh berbagai konteks ruang dan waktu, agar ideal. Kita menginginkan Bissu yang ‘murni’ atau ‘sakral’, yang maknanya tetap dan selamanya tidak berubah — menepikan ruang dan waktu. Dalam sibuknya prosesnya, (mungkin kita lupa) seolah-olah tidak memberikan ruang bagi Bissu untuk mendefinisikan dan memaknai ‘kata’ tersebut bagi dirinya (2009: 2).

Kenapa Bissu perlu diberikan ruang untuk memaknai kata ‘Bissu’? Alexandre Kojève membuat titik baru untuk memahami bagaimana seorang Bissu dapat menyadari bahwa ia adanya dirinya; bahwasanya, keberadaannya justru hadir dari hasrat untuk menegasi dan memahami diri. Keberadaan Bissu adalah eksposisi gerak kesadaran-diri, menuju ke kesadaran-akan-diri.

Dengan kata lain, bagaimana proses pemahaman akan pengalaman ‘Bissu’ penting untuk direkam. Tidak hanya kesadaran Bissu untuk memaknai ‘Bissu’, tapi juga bagaimana Bissu memaknai dirinya dengan menegasi ‘ketidakhadirannya’ dalam sirkumstansi tertentu, dan dapat mewujud ketika Bissu hadir dan menjelaskan pengalamannya lewat kata ganti orang pertama, tanpa kutipan: Aku.

Oleh karena itu, untuk sesi pertama dalam perhelatan Project Budaya Bone ke-2, dimulai dengan pertanyaan yang seringkali menghinggapi kepala: “Mengapa ingin seragam, padahal kita beragam?” Pertanyaan (tidak) sederhana tersebut mengantarkan gelar wicara ini pada persoalan krusial terkait identitas, tubuh dan subjektivitas Bissu.

Dalam diskursus identitas, Bissu didedah dalam proses ‘mengada’ dan ‘menjadi’. Tapi, kita lupa, Bissu adalah Liyan. Bagi kelompok rentan, identitas bukan sekadar pertarungan diskursus, tapi juga pertarungan untuk hidup. Usaha ini adalah usaha untuk memerdekakan ilmu pengetahuan dari watak kolonialis (mengutip Fajri Siregar dalam The Conversation).[2] Memang, kita sebagai para pemerhati budaya/budayawan, peneliti/akademisi, pekerja seni/seniman, tokoh adat dan agama berusaha untuk membangun pengetahuan dengan kiblat pada lokalitas masing-masing.

Namun dalam pergumulannya, Gurminder Bhambra mengingatkan bahwa bahwa dekolonisasi bukan berarti menolak teori barat. Dekolonisasi adalah usaha untuk merunut, menguntai, dan merayakan pengetahuan lokal yang ada, tapi juga mengantarkannya ke pemberdayaan kelompok rentan, kepada mereka yang berada dalam posisi tawar di relasi sosial yang tidak bersepadan.

Apa guna ilmu pengetahuan jika tidak membebaskan masyarakat dari belenggu penindasan? Atau justru membuat praktik ‘neo-kolonialisme’ sebagai rantai penindasan baru bagi kelompok rentan, termasuk pada kelompok gender non-normatif? Menjawab tantangan pertanyaan itu, sesi ini hadir. Selama beberapa waktu ke depan, kita ditantang untuk cukup rendah hati dan memberikan ruang lebih untuk Bissu menarasikan pergulatan hidup mereka masing-masing – mengapa mereka tetap ada dan bertahan hingga saat ini, terlepas dari kehidupannya yang terjal dan berliku? (1/1/23/PJI). (sesi I)


[1] Suryajaya, Martin, (2009), Imanensi dan Transendensi: Sebuah Rekonstruksi atas Retakan Besar dalam Sejarah Filsafat Prancis Kontemporer, diakses 29 Desember 2022, https://adoc.pub/imanensi-dan-transendensi-sebuah-rekonstruksi-atas-retakan-b.html.

[2] Siregar, Fajri, (2022), Dekolonisasi Sains: Pentingnya Memerdekakan Ilmu Pengetahuan dari Ketergantungan pada Dunia Barat, diakses pada 29 Desember 2022, https://theconversation.com/

dekolonisasi- sains-pentingnya-memerdekakan-ilmu-pengetahuan-dari-ketergantungan-pada-dunia-barata-178540.

News Feed