Oleh : Muliyadi Hamid, Penulis Kolom Prisma/Rektor Unifa
Sabtu, pekan lalu (14/1) ribuan warga sivitas akademika Perguruan Tinggi Sulsel berkumpul di Makassar. Tepatnya di kampus Univeristas Ciputra di kawasan Centre Point of Indonesia.
Mereka mendeklarasikan gerakan anti kekerasan seksual, anti perundungan, dan anti intoleransi serta anti korupsi di lingkungan kampus. Kegiatan ini diprakarsai oleh Lembaga Layanan Dikti (LLDikti) wilayah IX, Sultan Batara.
Deklarasi ditandai dengan pengucapan janji para pimpinan perguruan tinggi dan penandatanganan naskah deklarasi sebagai dukungan terhadap upaya-upaya mencegah terjadinya tiga ‘dosa’ di lingkungan kampus. Istilah 3D ini maksudnya tiga dosa. Entah siapa yang mulai. Ketiga bentuk prilaku mengeksploitasi ini dilabeli sebagai 3 bentuk dosa yang acap kali terjadi pada interaksi social di dalam kampus. Mungkin maksudnya, adalah pelaku ekspolitasi itu sendiri dalam perspektif agama merupakan dosa. Kemudian ditambahkan lagi satu dosa, yakni korupsi. Meskipun korupsi juga merupakan dosa, tapi tidak mengandung eksploitasi individu. Makanya digunakalah istilah 3D+1. Entahlah..
Deklarasi ini sesungguhnya merupakan salah satu langkah yang ditempuh untuk mendorong masih minimnya respons perguruan tinggi terhadap implementasi Permendikbud dikti No. 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Setidaknya mengingatkan tentang perlunya langkah antisipasi akan potensi terjadinya kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di dalam kampus. Para pengelola perguruan tinggi diharapkan memiliki instrument agar mampu mengantisipasi dan mampu menangani jika terjadi ketiga atau keempat ‘dosa’ tersebut di lingkungan kampus.
Awal terbitnya Permendikbud 30/2021 menuai banyak kontroversi, bahkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat karena dinilai sangat liberal dan bertentangan dengan pancasila dan budaya ketimuran. Ini terjadi karena seolah-olah kekerasan seksual hanya terjadi jika tidak atas persetujuan korban. Sehingga bisa dimaknai jika sepakat boleh bertindak asusila di dalam kampus. Dengan demikian, untuk melaksanakannya, kampus perlu mengatur lebih lanjut melalui aturan internal di kampus masing-masing. Bahkan, perlu memperluas terhadap ketiga ‘dosa’ yang lain, yakni perundungan, intoleransi dan korupsi.
Gerakan anti 3 D+1 sejatinya mengusung semangat pendidikan dan pembentukan karakter mulia. Bukan saja kepada mahasiswa, tetapi seluruh civitas akademika. Suatu upaya membangun kesadaran perlunya ditumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan dalam relasi individu yang proporsional. Agar kampus bisa mengoptimalkan berlangsungnya proses pembelajaran dan pendidikan yang mengutamakan keseimbangan antara transfer pengetahuan dan keterampilan, sekaligus pada saat yang sama berlangsung transfer nilai-nilai keadaban.
Pendidikan karakter lebih mengutamakan pembentukan kecerdasan emosional dan spiritual. Mendorong individu untuk menjadi pribadi yang lebih baik, berakhlak mulia dan menghargai sesama mahluk Tuhan. Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia tersebut akan dapat mencegah prilaku untuk mengintimidasi, dan mengeksploitasi manusia lain yang lemah.
Melalui kegiatan deklarasi, diharapkan semua perguruan tinggi segera membentuk satuan tugas (satgas) yang berfungsi untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku 3 D + 1 tersebut jika terjadi di dalam kampus.
Minimnya respons perguruan tinggi terhadap Permendikbud 30/2021 diduga bukan semata-mata karena rendahnya kesadaran akan pentingnya pencegahan dan tindakan kekerasan seksual tapi lebih pada pemahaman tentang proses dan syarat untuk menjadi anggota satgas yang tergolong agak sulit. Misalnya harus punya pengalaman menangani atau mendampingi korban kekerasan seksual. Sementara diwajibkan juga keanggotaan satgas harus berasal dari unsur dosen, tenaga kependidikan, dan unsur mahasiswa. Untuk itu, LLdikti IX perlu mengupayakan dan memfasilitasi kerja sama dengan berbagai pihak untuk memenuhi kebutuhan tersebut. (*)