Oleh: Aswar Hasan, Dosen Fisip Unhas Makassar
Pentas politik nasional dihebohkan oleh pilihan politik demokrasi dalam Pemilu 2024 mendatang.
Kehebohan itu, dipicu oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI) yang mengajukan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka ke MK.
Permohonan mereka teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Apabila gugatan uji materi tersebut dikabulkan oleh MK, maka sistem Pemilu 2024 akan berubah menjadi kembali ke sistem proporsional tertutup, di mana dengan sistem tertutup ini para pemilih hanya disajikan untuk memilih logo partai politik pada surat suara, bukan lagi nama kader partai yang mengikuti pemilihan legislatif sebagaimana sebelumnya.
Sistem proporsional tertutup yang diinginkan para penggugat tersebut, tampaknya sejalan dengan pandangan (“keinginan”) Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto yang tak mempersoalkan jika Pemilu 2024 menerapkan sistem proporsional tertutup. Hasto menilai sistem proporsional tertutup justru dapat mencegah terjadinya liberalisasi politik. Hasto mengatakan sistem proporsional terbuka yang kini diterapkan justru menyebabkan liberalisasi politik.
Lebih lanjut, Hasto menegaskan dengan mengatakan: “Saya melakukan penelitian secara khusus dalam program doktoral saya di Universitas Indonesia, di mana liberalisasi politik telah mendorong partai-partai menjadi partai elektoral, dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara,” kata Hasto kepada wartawan, Jumat (detik.news, 30/12-2022).
Diantara fakta yang paling kurang “sedap” dari efek pemilu dengan proporsional terbuka, adalah maraknya praktik politik uang diantara para caleg parpol yang berkompetisi hingga kader Partai yang terbaik dan sudah lama berkarier di partai pun, tersungkur dari calon Partai yang masih muallaf (baru) karena faktor modal kuasa (uang) dalam kompetisi politik yang liberal. Politik uang dalam pemilu adalah penyakit klasik demokrasi di negara yang belum sejahtera, sebagaimana yang terjadi di Indonesia.
Salah satu resep dari solusi maraknya politik uang tersebut, adalah dengan meninggalkan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Meskipun, sesungguhnya politik uang tidak otomatis terhenti, ketika sistem proporsional terbuka beralih ke sistem proporsional tertutup, karena aliran politik uang bukannya langsung terhenti, tetapi akan beralih dari caleg ke pemilih, menjadi dari para oligar (caleg pemodal) ke elit penguasa partai. Maka, partai pun tersandera oleh para pemilik modal. Jadi, antara sistem proporsional terbuka atau tertutup, masing-masing memiliki titik rentan melemahkan demokrasi.
Maka dalam konteks itu, jika elite PDIP cenderung memilih untuk kembali ke sistem proporsional tertutup, juga memiliki alibi pembenaran. Terlebih ketika ketika Hasto sekjen PDIP mengingatkan, bahwa kongres V PDIP telah membuka ruang untuk proporsional tertutup (detik.news, 30/12-2022). Untuk diketahui, bahwa salah satu Pemohon Judicial Review, yakni Demas Brian Wicaksono selaku Pemohon I adalah pengurus PDIP Cabang Probolinggo. Dengan demikian, ada benang merah antara respons PDIP yang disuarakan Sekjen Hasto Kristiyanto dengan salah seorang pemohon Judicial Review terhadap pemilu dengan proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Sementara itu, 8 (dalapan) parpol yang ada di parlemen (minus PDIP) menyatakan menolak Pemilu dengan proporsional tertutup. Kesepakatan atas penolakan pemilu dengan proporsional tertutup tersebut, disampaikan Ketua Golkar Airlangga dengan menyebut 5 (lima ) poin pertimbangan yaitu:
Pertama, 8 Parpol menolak sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024, karena itu merupakan kemunduran demokrasi. Sementara sistem proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat, dimana pemilih dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan parpol.
Kedua, 8 parpol sepakat bahwa sistem proporsional terbuka merupakan pilihan tepat dan sesuai putusan MK No 22-24/PUU -VI/2008 pada 23 Desember 2008.
Ketiga, KPU harus menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu dengan menjaga netralias dan independensinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keempat, 8 parpol mrngapresiasi pemerintah yang telah menyiapkan anggaran pemilu 2024. Kelima, berkomitmen untuk berkompetisi dalam pemilu secara sehat dan damai dengan tetap menjaga peraturan dan kesatuan bangsa agar tetap memelihara stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi.
Dapat disimmpulkan, bahwa telah terjadi dua kubu di parpol di DPR RI yaitu antara yang menginginkan sistem pemilu dengan tetap pada proporsional terbuka (didukung oleh delapan Partai) dengan sistem proporsional tertutup, sebagaimana yang diharapkan oleh PDIP (sebagai Partai pemilik mayoritas kursi di DPR RI dan dekat (pengusung utama) penguasa.
Diakui oleh sejumlah pakar politik, seperti Andrew Reynold, peneliti pemilu dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) bahwa tidak ada sistem pemilu yang ideal, yang mampu memenuhi semua kebutuhan dan kepentingan politik disuatu negara. Olehnya itu, dibutuhkan kesepakatan dan komitmen untuk menjalankan sebuah sistem politik yang akan diselenggarakan, sembari membenahi (menyempurnakan) sistem tersebut, menjadi lebih adaptabel dalam idealita cita politik bagi negara bersangkutan.
Dengan demikian, maka yang urgen sesungguhnya adalah menerbitkan aturan Pemilu untuk memperbaiki dan mengatasi dampak negatif dari aturan yang ada selama ini seperti, bagaimana mengeliminir dan menutup pintu dari para Oligar yang melakukan praktik politik uang dari caleg atau ke partai, pada Pemilu. Bukannya terjebak dan terjerembak pada permainan “Latto-latto” Pemilu, antara proporsional terbuka atau tertutup. Wallahu A’lam Bishawwabe. (*)