English English Indonesian Indonesian
oleh

Internet Menyebabkan Perilaku Kekerasan, Benarkah?

OLEH: dr. Rinvil Renaldi, M.Kes, Sp.KJ(K), Psikiater Anak dan Remaja Konsultan/ Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Di Makassar, baru-baru ini kita tersentak mendengar berita pembunuhan yang dilakukan oleh dua orang anak untuk mendapatkan uang dengan menjual organ tubuh manusia. Pelaku nekat membunuh korban karena tergiur dengan informasi terkait jual beli organ tubuh yang diperolehnya melalui sebuah situs di internet.

Internet menyebabkan perilaku kekerasan, benarkah? Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana namun tidak mudah untuk menjawabnya.

Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh seorang anak bukanlah sebuah fenomena yang sederhana untuk dijelaskan. Perilaku ini merupakan produk dari untaian rantai proses kegagalan sebuah sistem kehidupan yang dijalani oleh pelaku anak sehingga tidak tercapai Goodness of fit atau kesesuaian. Salah satu kesesuaian yang dapat terganggu adalah kesesuaian moral secara optimal antara anak dengan lingkungannya.

Not only Child but Child with someone

Kalimat ini menggambarkan bagaimana seorang anak pasti bersama dengan orang terdekatnya seperti kedua orangtuanya, pengasuh serta keluarga yang lainnya. Tidak ada seorang anakpun yang dapat hidup sendirian. Perilaku anak pada awalnya dibentuk oleh kesesuaian temperamen anak dengan pola asuh yang baik dari orangtua. Demanding (tuntutan) dan respon emosi dari orangtua yang adekuat dan sesuai dengan perkembangan anak akan membuat anak memiliki kemampuan dasar untuk bertransaksi dengan baik. Perilaku anak dalam bertransaksi dalam rumah ini adalah blueprint awal yang digunakan anak untuk bertransaksi lebih lanjut dengan lingkungan di luar rumah. Blueprint transaksi yang secure (merasa aman) dan respectfull (saling menghargai) akan membantu anak senantiasa berorientasi pada transaksi yang searah dengan orang lain, saling menguntungkan dan sejalan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sosial. Namun, bila terjadi keadaan sebaliknya, anak yang memiliki blueprint transaksi yang insecure (tidak merasa aman) diwarnai dengan kekerasan, banyak memaksakan kehendak kepada orang lain bahkan neglectfull (penelantaran) akan membuat anak memiliki kecenderungan bertransaksi secara impulsif yang berorientasi hanya untuk pemuasan nafsu dan dorongan yang tidak realistis, immoral sehingga cenderung berperilaku menjauhi nilai agama, budaya, sosial, bahkan hak-hak hidup orang lain.

Perilaku kekerasan Anak

Pola asuh orang tua bukan satu-satunya faktor risiko yang menyebabkan pelaku anak melakukan kekerasan. Faktor-faktor yang lain juga turut berperan serta adalah adanya faktor risiko antara lain, anak sering mendapatkan penghukuman secara fisik, sexual abuse, keadaan sosial ekonomi keluarga yang tidak menguntungkan, tidak bersekolah, lingkungan pertemanan yang vandalisme,  penyalahgunaan zat, dan kemampuan kognitif yang terbatas. Anak yang memiliki faktor risiko seperti yang telah disebutkan, bila mendominasi faktor protektif yang dimiliki anak  (laju pertumbuhan dan perkembangan yang baik, dukungan emosional dan kehidupan sosial ekonomi keluarga yang baik) akan menyebabkan gangguan sirkuit di otak anak yang masih sementara berkembang.

Sirkuit Otak Anak

Sirkuit otak pada anak belum seimbang sehingga otak belum dapat berfungsi secara optimal. Sirkuit ini melibatkan amigdala, bagian otak yang mengatur emosi yang berfungsi membangkitkan perilaku dengan korteks prefrontal yang berfungsi mengatur kontrol diri serta pengambilan keputusan. Pada pelaku anak yang melakukan kekerasan, selain sirkuit otaknya belum stabil, diperberat dengan adanya faktor risiko yang dimiliki akan membuat anak mudah berperilaku menentang, agresif bahkan membentuk kepribadian anti sosial. Pelaku anak dapat meyakini dirinya tidak bersalah, terbebas dari hukuman dan tidak dapat ditangkap atau kebal hukum. Hal ini tidak mengherankan terjadi karena selama fase perkembangan kognitif anak menuju maturitas, anak normalnya mengalami  personal feables. Keyakinan bahwa dirinya spesial dan unik, niscaya tidak akan ada kesulitan atau halangan yang dapat merintanginya. Keyakinan ini bila terkontaminasi dengan pengalaman atau ide bertema kekerasan akan membentuk perilaku yang berakibat destruktif bagi dirinya, orang lain bahkan masyarakat.

Internet: Bane or Boon?

Memasuki Era Society 5.0, internet mendampingi hidup kita. Kita perlu menguasai dan memanfaatkan teknologi  agar mampu bersaing, berinovasi serta bertransformasi dalam menjalani tuntutan pekerjaan, pendidikan dan berbagai hal lainnya agar kehidupan manusia menjadi lebih nyaman lagi. Disisi lain, infomasi yang tersedia di internet yang ditonton oleh anak namun tidak sejalan dengan usia anak dapat mempengaruhi cara berpikir, berperasaan serta berperilaku anak semakin menjauh dari nilai-nilai yang dimilikinya. Orang tua harus membantu memilih sajian yang seusai untuk anak agar paparan internet yang mereka dapatkan tidak bersifat toksik dan merusak sirkuit otak anak.

Jadi, apakah internet menyebabkan anak melakukan kekerasan? Jawabannya tentu tidak sesederhana hanya dengan Ya atau Tidak. Internet seperti sebuah pisau bermata dua yang tentu sangat bermanfaat bila digunakan untuk tujuan yang baik dan dilakukan oleh orang yang tepat namun disisi lain juga dapat menjadi sumber malapetaka. (*)

News Feed