Pakar psikoanalisis Austria: Sigmund Freud pernah menerangkan bahwa seseorang yang mengalami kecemasan atau ketakutan berlebihan hingga membenci sesuatu secara frontal maka ia patut disematkan predikat sebagai penderita phobia. Phobia sendiri sangat beragam indikasinya, mulai jenis phobia yang wajar dan umum bersemayam pada diri kebanyakan orang, seperti Nyctophobia: takut kegelapan, talassophobia: takut pada laut dalam, dan lain-lain. Hingga phobia destruktif yang tidak wajar, misalnya senophobia: anti orang asing, islamophobia: anti islam, dan lain-lain.
Salah satu jenis phobia destruktif dan tidak wajar yang kini mendera sejumlah pejabat negara kita adalah OTT phobia yang ditandai dengan perasaan benci, cemas hingga anti operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi ikon KPK dalam memberantas koruptor. Gejala ini sangat terasa ketika tampil sebagai pembicara dalam Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Thamrin Nine Ballroom Jakarta (20/12/2022), Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan kebenciannya terhadap OTT KPK karena hanya merusak reputasi Indonesia di luar negeri. Akibatnya banyak investor kehilangan nyali berinvestasi di tanah air karena khawatir akan menjadi target OTT KPK.
Nada sumbang Luhut ini, tentu menimbulkan ketertawaan dan keheranan publik, terutama pemerhati antikorupsi. Selain merupakan manifestasi pembangkangan kalau bukan pengkhianatan terhadap kebijakan dedongkotnya yaitu PERPRES Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, lagu fals Luhut itu juga paradoks dengan realita. Betapa tidak karena sudah merupakan pemahaman common sense bahwa negara yang relatif bersih dari virus KKN, justru paling diminati investor lantaran mereka memperoleh jaminan kepastian berinvestasi, sebaliknya, negara yang masih menjadi sarang penyamun, tentulah dihindari investor karena berhadapan risiko bisnis berbiaya tinggi.
Entah mafia koruptor mana yang berinvestasi informasi distorsif kepada Luhut, sehingga cenderung membangun paradigma pemikiran dengan logika terbalik dan konfrontatif. Ia sangat mendewakan digitalisasi admnistrasi penggunaan anggaran sebagai solusi efektif dalam memberantas korupsi. Luhut lupa atau mungkin memang picik bahwa korupsi yang massif dan sistematis belakangan ini bukan lagi pada praktik penyalahgunaan anggaran negara, tetapi sudah bergeser pada modus silent operation and mutual profit, yaitu suap dan gratifikasi. Modus ini tak akan pernah terdeteksi oleh sistem digitalisasi secanggih apapun seperti yang diagung-agungkan Luhut.
Seorang pejabat publik yang dilekati otoritas kebijakan seperti perizinan tidak akan bernafsu menilep anggaran negara dalam kekuasaannya, karena ia sadar bahwa hal itu sangat mudah terpantau oleh auditor BPK meski tanpa digitalisasi. Namun siapa sangka jika ia sebagai manusia biasa yang tak luput dari syahwat memperoleh penghasilan ekstra official, maka ia sulit menolak jika ditawari upeti dari para user official service-nya. Mereka lalu mengatur momentum dan lokasi transaksi upetinya di luar negeri, maka sistem digitalisasi anggaran sehebat apapun pasti akan lumpuh dan tak mungkin mendeteksi transaksi mereka meski dengan jumlah yang sangat besar, Jika Jokowi jadi mereshuffle kabinetnya, semoga Luhut salah satu dari mereka demi memutus harapan koruptor yang mendapat angin dari Menteri segala urusan ini. wallahu a’lam bisshowab.