Oleh: Mohammad Muttaqin Azikin, Peneliti dan Pemerhati Tata Ruang pada Ma’REFAT INSTITUTE
Dalam satu dekade terakhir, Kota Makassar telah mengalami perkembangan yang begitu pesat, terutama jika memerhatikan secara fisik pembangunan kotanya. Sayangnya, kemajuan tersebut tidak dibarengi dengan perhatian serius pada aspek penataan ruangnya.
Fenomena ini akan terasa menemukan konteksnya, saat kita menelaah permasalahan tata ruang yang tercantum dalam RPJPD maupun RPJMD Sulawesi Selatan, di mana disebutkan bahwa; masih terjadi inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW serta ketaatan pada Perda Tata Ruang yang masih rendah.
Pengabaian dalam meng-arusutama-kan penataan ruang membuat prinsip-prinsip livable city tak terpenuhi dengan optimal di Kota Makassar, seperti: ketersediaan kebutuhan dasar, ketersediaan fasum-fasos, ketersediaan ruang publik sebagai wadah interaksi antar komunitas, kualitas lingkungan, dukungan fungsi sosial, ekonomi dan budaya kota, keamanan dan keselamatan serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Konsekuensinya, pada tahun 2017, saat Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia melakukan survei kelayak hunian kota atau Most Livable City Index (MLCI) terhadap 26 Kota di Indonesia, Makassar berada pada nilai indeks paling rendah dalam kategori Bottom Tier Cities (Kota-kota dengan nilai index livability di bawah rata-rata). Tampaknya, Kota Makassar masih harus berjuang menuju kota layak huni, sebagaimana kota-kota metropolitan lainnya, sebab masih banyak warga kota yang merasa tidak nyaman tinggal di kotanya.
Karenanya, mungkin benar yang disampaikan Prof. Eko Budihardjo dalam bukunya Reformasi Perkotaan, bahwa kenyataan menunjukkan, kota-kota di Tanah Air kita cenderung kian tidak manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk kehidupan manusia berbudaya. Fenomena dehumanisasi kota di Indonesia antara lain karena perhatian para pengelola dan pembangunannya lebih tercurah pada aspek fisik dan pergulatan kepentingan ekonomi. Padahal, salah satu temuan menarik dari survey MLCI 2017, juga menegaskan bahwa nilai PAD yang tinggi di sebuah kota/daerah, ternyata tidak secara otomatis menjamin kelayakhunian sebuah kota.
Nah, berbagai problem penataan ruang Kota Makassar tersebut yang selama ini dirasakan oleh warga Makassar, boleh jadi disebabkan karena beberapa hal, antara lain:
Pertama, rencana kota yang selama ini dibuat umumnya lebih berorientasi pada proyek (project oriented), daripada pemecahan masalah (problem solving oriented). Gagasan pemikiran dan konsep yang ditawarkan cenderung bombastis dan tidak ground-up, tetapi sedikit banyak utopian, sehingga tidak relevan dengan problema nyata yang dihadapi masyarakat.
Kedua, rencana yang dibuat dan disusun, lebih banyak bersifat parsial serta sporadis, dibuat sendiri berdasarkan selera, obsesi dan khayalan penguasa kota. Sehingga akibatnya, perencanaan secara terpadu, integral, holistik dan menyeluruh sulit untuk diwujudkan.
Ketiga, kurangnya koreksi dan evaluasi yang bersifat kritis terhadap jalannya pembangunan kota, berkaitan dengan rencana yang telah dibuat, untuk mendeteksi apa yang sesungguhnya berlangsung dan penyimpangan serta kesalahan apa yang timbul. Hal ini terjadi karena stakeholder yang bergerak di bidang perencanaan kota dan tata ruang – baik akademisi, profesional maupun mahasiswanya – tidak menjalankan tanggung jawab moral dan intelektualnya, dalam memberikan respons dan tanggapan terhadap persoalan-persoalan perkotaan yang ada.
Dengan memperhatikan hal di atas, serta mempertimbangkan masa waktu kepemimpinan Wali Kota dan Wakilnya yang tidak lama lagi, maka sangat penting memilih program yang lebih diprioritaskan untuk diselesaikan. Bagi saya, ada empat program yang mendesak dan mesti lebih difokuskan, di antara delapan program utama yang terkait penataan ruang, dalam RPJMD 2021-2026, yaitu: 1). Penataan total sistem persampahan, 2). Pembenahan total sistem penanganan banjir dan pencegahan kemacetan, 3). Peningkatan jejaring smart pedestrian dan koridor hijau kota, serta 4). Percepatan Makassar menjadi liveable city dan resilient city.
Terkait program resilient city, karena Kota Makassar sangat rentan belakangan ini, maka pertanyaan paling mengemuka yang penting diajukan untuk direspons ialah apa langkah-langkah konkret dalam jangka pendek, yang telah disiapkan oleh Pemkot Makassar menghadapi ‘tragedi’ banjir tahunan, yang sangat mungkin terjadi dalam beberapa waktu ke depan, serta bagaimana upaya mitigasi bencana terhadap dampak perubahan iklim (climate change) yang semakin nyata untuk waktu kini dan mendatang.
Pada akhirnya, problem penataan ruang di Kota Makassar, rasanya akan sulit terpecahkan, bila tak ada ikhtiar yang sungguh-sungguh serta political will yang kuat dari Wali Kota untuk menanganinya. Apalagi jika perhatian hanya difokuskan pada proyek-proyek pembangunan mercusuar, dalam rangka membangun “monumen diri” demi pembentukan citra, menuju jenjang kekuasaan yang lebih tinggi. Wallahu a’lam bisshawab.