OLEH: Sukardi Weda, Guru Besar Universitas Negeri Makassar
Praktik politik identitas mengemuka pada saat Pilkada DKI Jakarta digelar tepatnya tahun 2017 silam yang mengantarkan Anies Rasyid Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Fenomena munculnya politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta bermula dengan adanya penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat menyampaikan pidato di Kepulauan Seribu, yang mengutip surat Al-Maidah Ayat 51, dengan mengatakan ‘dibohongin pakai surat Al-Maidah Ayat 51,’ yang dianggap sebagai penistaan agama dan membuat publik geram. Inilah yang menjadi batu sandungan bagi Ahok untuk kembali terpilih menakhodai Jakarta sebagai Gubernur.
Ucapan Ahok tersebut dikecam oleh banyak orang, karena memunculkan konflik horizontal dalam masyarakat. Ini pula yang membuat publik Jakarta terkotak – kotak menjelang perhelatan Pilkada Jakarta 2017 lalu. Identitas keagamaan dan etnisitas muncul secara membabi buta dan sulit terkontrol menjelang dan saat pencoblosan pada Pilkada DKI Jakarta. Di sinilah, publik disuguhkan atraksi politik yang menarik dan sedikit ekstrim, yakni dengan hadirnya politik identitas.
Ekstrim akibat terjadinya pengkotakan di dalam masyarakat, berdasakan latar belakang agama, kelompok etnik, suku, budaya, dan identitas lainnya yang dapat memicu terjadinya intoleransi, konflik komunal, yang dapat mengoyak harmoni dan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat kita yang dikenal plural.
Namun, perlu dimaklumi bahwa kehadiran politik identitas lazim dalam setiap perhelatan politik dan masyarakat terdidik tentu mahfum dengan kondisi tersebut, tetapi masyarakat pinggiran, masyarakat kurang terdidik, acapkali larut dengan gelombang protes, huru hara, aksi tanpa memahami esensi dari gerakan – gerakan yang terjadi, yang berpotensi menyebabkan disharmoni atau kekacauan dalam masyarakat.
Menjelang Pilpres dan Pileg 2024, publik kembali disuguhkan dengan narasi tentang politik identitas, diskusi dan seminarpun acapkali digelar untuk sekedar berbagi apa sesungguhnya politik identitas itu dan mengapa pula itu terjadi. Politik identitas masih saja menjadi isu menarik dan laku dijual setiap kali pemilu atau pilkada digelar. Politik identitas masih saja menjadi isu yang kerap dimainkan oleh sekelompok orang menjelang pemilu karena cara ini dianggap cara yang paling jitu untuk mempengaruhi masyarakat karena mengingatkan kembali tentang identitas primordial mereka yang sifatnya mutlak (Muhammad Sapi’i, 2022).
Politik identitas dapat dimaknai sebagai strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utamanya (Firman Noor, dkk., 2020). Politik identitas mengacu pada faktor – faktor pembeda yang dianut atau dialami oleh suatu masyarakat, yang dapat berupa ras, kelompok etnik, agama, budaya, dan lain sebagainya. Politik identitas acapkali muncul dalam masyarakat manakala pemilik identitas tertentu dimarginalkan oleh kelompok mayoritas atau pemilik identitas berbeda lainnya. Sering juga politik identitas muncul ke permukaan ketika hak – hak dari pemilik identitas tertentu dirampas oleh negara. Politik identitas dapat berupa perlawanan terhadap diskrimnasi, sulitnya akses bagi kelompok tertentu untuk memperoleh sumber daya. Politik identitas merupakan alat politik yang digunakan untuk melakukan perlawanan atau juga digunakan sebagai alat untuk menunjukkan jati diri kelompok – kelompok tertentu (M. N. Firdaus & L. Andriyani, 2021.). Politik identitas sebagai sumber dan sarana politik dalam pertarungan perebutan kekuasaan politik kian terlihat dalam praktik politik kekinian (Zahrotunnimah, 2018).
Ibarat kawanan banteng yang salah satu anggota kelompoknya dihalau dan diserang bahkan diterkam oleh singa lapar, sekonyong – konyong perlawanan dari para banteng lainnya muncul untuk membantu kawanannya, sehingga tidak dimangsa dan dikoyak oleh singa lapar tadi.
Demikian halnya, identitas seseorang atau kelompok orang acapkali muncul manakala ada yang mencoba mengganggu orang atau kelompok orang tersebut, dan ia beserta kelompoknya mempertahankan dan melindungi diri dan kelompoknya, tentu untuk menjadi pemenang atau setidaknya menjadi warning bagi kelompok lainnya untuk tidak coba – coba mengganggu. Termasuk stereotip negatif acapkali dihembuskan untuk menjatuhkan kelompok atau partai tertentu.
Rupanya kesamaan identitas untuk membantu kelompoknya bukan hanya terjadi dalam kawanan binatang dan dalam praktik kehidupan manusia sehari – hari, tetapi juga dalam dunia politik identitas melekat, baik pada partai politik maupun bagi para elit politik, mereka seringkali menggerakkan semua potensi, baik terkait dengan ideologi, ras, agama, budaya, jenis kelamin, dan faktor – faktor lain yang menjadi ciri pembeda dengan kelompok lain atau partai lainnya, itulah praksis politik identitas.
Politik identitas merupakan diskursus kontemporer dalam praksis politik nasional dan global. Dengan hadirnya perbedaan, baik dari ras, etnik, agama, budaya, dan kepercayaan, tak jarang pula politik identitas muncul mengiringi perbedaan – perbedaan itu. Hanya saja, politik identitas seringkali memunculkan konflik dan kekerasan di tengah masyarakat. Bahkan ada yang menilai politik identitas lebih berbahaya ketimbang politik uang (money politics) karena bisa berakibat panjang, masyarakat menjadi terkotak – kotak, perbedaan semakin nyata, sehingga intoleransi dan disharmoni dapat meledak kapan saja, konflik disfungsional dan konflik laten juga berpotensi terjadi, sehingga kehidupan masyarakat menjadi menyeramkan.
Apapun itu, dan untuk tujuan apapun juga, tentu publik berharap bahwa jangan karena kita berbeda, maka cara – cara barbar, cara – cara yang tidak beradab, cara – cara yang tidak etis dan bermoral, cara – cara yang tidak santun dan sopan, dilakukan dalam segala kegiatan dan aktifitas politik kita. Indonesia adalah negara besar. Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman suku, kelompok etnik, agama, dan budaya, dan keragaman itu perlu dijadikan sebagai kekuatan secara kolaboratif untuk membangun Indonesia. Mari membangun dan merajut harmoni dan toleransi tanpa syarat, tanpa embel – embel untuk membangun Indonesia yang maju dan sejahtera. Mari berpartisipasi dalam pilpres, pileg, dan pilkada 2024 dengan santun dan elok. (*)