English English Indonesian Indonesian
oleh

Antara Permainan Sepak Bola dan Permainan Politik

OLEH: Sukardi Weda, Guru Besar Universitas Negeri Makassar

Minggu malam waktu Indonesia (18/12/22), publik Indonesia dipertontonkan permainan sepak bola Piala Dunia 2022 antara Argentina dan Prancis yang digelar di Stadion Lusail Qatar. Publik pun riuh rendah dengan penuh semangat menonton perhelatan sepak bola empat tahunan tersebut. Hiruk-pikuk penonton Piala Dunia 2022 tersebut dapat di temukan di berbagai warkop, sudut-sudut kampung, tempat pos ronda, tempat-tempat nonton bareng (nobar), yang sengaja dibuat untuk menikmati piala dunia 2022.

Laga final Piala Dunia 2022 tersebut sangat memuaskan bagi penonton sepak bola, sekaligus sangat menegangkan, betapa tidak. Kedudukan kedua tim yang berlaga, Argentina versus Perancis di paruh pertama pertandingan, Argentina memimpin dengan mencetak dua gol melalui Lionel Messi dan Angel Di Maria. Sepuluh menit terakhir permainan, Kylian Mbappe mencetak dua gol secara beruntun. Kedudukan pun menjadi seimbang 2-2, sekaligus menandai akhir waktu normal  pertandingan, sehingga pertandingan kembali dilanjutkan dengan waktu 1×15 menit. Messi kemudian membobol gawang Prancis, dan kedudukan menjadi 3-2 untuk Argentina, berselang 10 menit, Mbappe dengan penuh semangat menerobos gawang Argentina melalui penalti. Pertandingan kembali berlanjut melalui adu penalti untuk menentukan pemenang Piala Dunia 2022, tim nasional Argentina, Albicelestes (Putih dan Biru Langit) akhirnya keluar sebagai juara Piala Dunia 2022 setelah penantian selama 36 tahun, dengan kedudukan 3-2 melalui adu penalti yang berlangsung secara dramatis.

Permainan sepak bola ada kesamaan dengan perhelatan politik. Dua-duanya menghadirkan ketegangan, dramatis, dan tidak sedikit tipu daya. Memenangkan pertandingan sepak bola, acapkali diikuti dengan permainan kasar, saling tekel menekel, menendang, menjambak, mendorong, menginjak, meninju, yang tentu tujuannya untuk menjegal laju lawan atau menghambat pergerakan lawan. Permainan sepak bola dan permainan politik, keduanya memerlukan trik, intrik, siasat, dan strategi untuk menjegal atau melumpuhkan lawan.

Acapkali terjadi dalam permainan sepak bola, dimana seorang pemain bahkan beberapa pemain melakukan kecurangan dengan tujuan untuk menghalangi pemain lawan untuk mendekati gawang timnya. Seringkali juga para pemain curang diberikan sanksi oleh wasit pertandingan berupa kartu kuning, kartu merah, atau sanksi larangan bermain dalam satu musim kompetisi. Demikian halnya di dalam praksis perhelatan politik, drama permainan juga dipertontonkan laiknya sepak bola, bila para kontestan melakukan pelanggaran, maka ia juga akan diberikan sanksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk para kontestan, baik para calon maupun parpol tertentu, sedangkan bagi penyelenggara pemilu, akan diberikan sanksi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), berupa sanksi peringatan maupun sanksi berat berupa pemecatan.

Drama dalam pertandingan sepak bola juga seringkali dijumpai dalam praktik-praktik politik, baik itu pada pemilu legislatif (pileg), pilkada, hingga pada pemilihan kepala desa. Para kontestan atau pencari kekuasaan saling berjibaku untuk meraih kekuasaan meskipun tanpa mengindahkan etika atau sopan santun dalam politik, fatsun politik. Politik memang dibingkai dengan beragam intrik dan siasat, tetapi para kontestan sejatinya mengedepankan etika dalam politik, sopan santun dalam politik, tidak asal tabrak, tidak mencederai lawan politiknya dengan beragam cara, seperti negative campaign, black campaign, politik uang, pembunuhan karakter, dan cara-cara tidak beradab lainnya.

Meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan tidaklah mudah, oleh karena itu para petarung tentu melakukan langkah – langkah strategis dan intrik untuk menang, acapkali mengesampingkan etika dan moral. Tidak sedikit dari para kontestan tersebut terinspirasi dari buku karya Machiavelli, dia adalah seorang pemikir politik kekuasaan, sekaligus sebagai seorang filsuf asal Italia. Machiavelle dalam bukunya berjudul The Prince, ia mengatakan bahwa untuk meraih kekuasaan, ada dua cara berkelahi yang dapat dilakukan, pertama dengan menggunakan hukum dan kedua dengan kekuatan. Pilihan pertama adalah cara – cara manusia yang elok dan pilihan kedua adalah cara atau gaya binatang. Untuk memenangkan pertarungan, maka seorang petarung harus dapat melakukan keduanya, yakni cara manusia dan gaya binatang, binatangisme. Begitulah kira – kira menurut Machiavelli.

Sedikit teringat dengan novel pendek karya George Orwell berjudul Animal Farm: A Fairy Story, bergenre alegori satir politik, tentang totalitarianisme Uni Sovyet dengan judul terjemahan Binatangisme yang menggambarkan sekelompok hewan yang menggulingkan kekuasaan manusia. Novel ini sebagai kritik terhadap komunisme dan penguasa Uni Soviet. Orwell dengan kritiknya menempatkan para binatang sebagai tokoh utama carita dalam novel tersebut.

Di dunia sepak bola yang sejak awal dimulai di Tiongkok Kuno dikhususkan untuk membina kejujuran atau sportivitas serta standar etika bagi para militer melalui pelatihan fisik dan mental untuk menunjang semangat tempur prajurit (Loebis, A.R., 2010). Olah raga sepak bola sejatinya adalah olah raga yang diharapkan menjadi wadah untuk menciptakan harmoni untuk mempersatukan warga planet ini, hanya saja di dalamnya tetap ada istilah militer seperti kapten, penyerang, pertahanan, pengatur serangan, striker dan lainnya (Loebis, A.R., 2010), sehingga perbuatan kekerasan seringkali terjadi, seperti perkelahian antar pemain, pemain dan wasit, dan perkelahian antar suporter, yang sering menelan korban jiwa.

Kembali ke judul tulisan ini, “antara permainan politik dan permainan sepak bola,” yang memiliki banyak kesamaan dan keduanya menjadi diskursus menarik dalam kehidupan sehari – hari.

Fatsun politik, sopan santun dalam politik dan teguh menjalankan prinsip- prinsip sportivitas, moral dan etika dalam permainan sepak bola, seperti fair play; taat pada peraturan pertandingan; menghormati lawan, rekan satu tim, wasit dan penonton; dan menerima kekalahan dengan lapang dada merupakan sebuah keniscayaan yang harus dipertontonkan baik dalam permainan sepak bola maupun dalam perhelatan politik. Sehingga praktik politik yang santun menghasilkan pemimpin yang beretika dan laga sepak bola yang sportif menghasilkan kemenangan yang dikenang sepanjang masa. (*)

News Feed