Oleh: Muh. Fadhly Kurniawan, Peneliti Transkrip Tradisi Lisan Indonesia
Sebenarnya, catatan ini sudah lama ingin saya tuangkan, tapi, setelah diskusi bersama Alif Anggara di halaman Gedung Kesenian semakin membulatkan tekadku untuk menulisnya. Baiklah, catatan ini merampung tiga episode hasil pengamatan pertunjukan Gau’ Maraja (selanjutnya baca GM)—sebuah event akbar yang diselenggarakan oleh BPNB Pemprov Sulsel. Tulisan ini masih sebatas pengamatan seni pertunjukan yang sifatnya suatu catatan, pun, kalau mau dikatakan sebuah kritikan, silakan memaknainya. Pertunjukan perdana GM (I) dilaksanakan di sekitar kawasan Center Point of Indonesia (CPI) tahun 2019, pertunjukan kedua (II) di Pantai Akkarena, tahun 2020, dan yang ketiga (III) terlaksana di Benteng Fort Rotterdam, September 2022.
Pengamatan perdana pertunjukan GM saya kunjungi bersama teman-teman seminar ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) dan mahasiswa pasca UI yang dilaksanakan di Unhas pada Oktober 2019 lalu. Setiba di sekitar kawasan CPI—saat ini dekat lego-lego, hampir saja saya tidak mengetahui adanya kegiatan yang terlaksana di sana, mungkin karena kurangnya penanda bahwa GM I terlaksana di sekitar CPI. Kemudian, setelah memarkir kendaraan, kami mengunjungi sekitar panggung, namun, kondisi saat itu malam hari, settingan konsepnya kurang estetik, sehingga tidak memiliki daya tarik untuk betah berada di sekitar panggung.
Penonton tidak terkontrol dengan baik, ditambah kondisi CPI saat itu masih sedang dalam proses pembangunan, banyak debu yang cukup menganggu penonton. Saya tidak sampai memberikan catatan atau penilaian para penampil, hanya pada teknis lapangan yang cukup mendistorsi mood saya sebagai penikmat pertunjukan. Keesokan sore harinya di lokasi pertunjukan, saya tetiba terfokus pada perahu dan bagang yang berhadapan dengan panggung—mungkin sebagai properti saat pembukaan, sangat disayangkan tidak begitu dihias-kemas dengan rapi, sehingga di malam hari tidak begitu nampak menjadi bagian ikon GM.
Selanjutnya, GM II terlaksana di Pantai Akkarena, bulan Oktober, 2020. Persiapan GM kedua ini sepertinya sudah terkonsep dengan baik. Mulai dari pra-pertunjukan, hingga pelaksanaannya. Suatu hal yang menarik pra-pertunjukan, yaitu, pembuatan video singkat yang tersebar di media sosial mengenai beberapa warga lintas pulau, dan memunculkan sosok fiktif Daeng Parewa yang akan melakukan pelayaran (konteks dagang dan jalur rempah). Di GM II ini saya baru mengetahui bahwa munculnya sosok Dg. Parewa merupakan ikon GM. Mungkin di GM I sosoknya sudah dimunculkan, namun, saya belum membacanya sebagai sosok ikon GM.
Secara jujur, konsep maritim yang dibangun GM II ini turut membawa fantasi saya ikut berlayar. Bahkan, sempat terlintas dalam benak saat Dg. Parewa berlayar bersama awaknya, mereka bertemu dengan pihak kompeni dan melakukan sedikit adegan negosiasi, bahkan sampai pada mini battle, namun, itu hanya sebuah fantasi saja. Lebih lanjut, instalasi kapal yang dibuat tim GM II ini sangat mengagumkan. Selain menjadi latar panggung, ia juga menjadi panggung, suatu properti yang multifungsi, dan patut diapresiasi. Kemudian, di sekitar panggung suasananya lebih ‘hidup’ dengan adanya beberapa kain merah-hitam yang tertancap di sekitar bibir pantai Akkarena, mengibaratkan kapal mini yang akan mengiringi pelayaran Dg. Parewa. Ditambah pemutaran video di LED betul-betul menambah suasana menjadi suatu pelayaran ke pulau seberang.
Masih konteks GM II, sampai sekarang saya masih terngiang dengan garapan teater dan tari kolosal opening-nya. Meskipun saat itu pandemi covid-19 masih berlangsung, kostum para pemain menjadi adaptif dengan prokes, hebatnya, tanpa menghilangkan tampak estetisnya. Pemilihan lokasi pesisir pantai sangat tepat untuk tema dan situasi pertunjukan di sore itu.
Namun, hal teknis seperti luaran sound system tidak luput dari perhatian, mungkin pengaruh pantai yang anginnya kencang cukup memengaruhi pendengaran, yang kadang tidak dapat terfokus, bahkan hilang frekuensi. Sedangkan pada lighting panggung, cukup baik, tapi saya punya catatan, seperti, perlunya briefing tiap peserta terhadap list pertunjukan dan kebutuhan pencahayaan masing-masing; ada beberapa bagian di atas panggung yang tidak tersentuh, misalnya, pada saat (Alm) Dg. Tutu membawakan Sinrili’, beliau setelah mentas bergumam tidak ada pencahayaan yang cukup untuk melihat teks yang dibawakannya, bahkan tidak adanya asisten yang mendampinginya, sehingga teksnya terbang terbawa angin. Hal seperti ini perlu dijadikan perhatian ekstra lagi.
Pada GM episode ketiga beberapa bulan lalu di Fort Rotterdam, saya kembali mengamati dan melanjutkan catatan pembacaan pertunjukan. Saya mulai mengamatinya dari video pra-pertunjukan, ada sebuah bisikan teman yang masih teringat, “itu yang main di video seperti bermain teater, tidak seperti bermain film”, hal itu tidak menjadi bahan catatan pribadi. Selanjutnya, pada saat menghadiri opening ceremony, saya memperhatikan gerbang GM III yang “tidak serius”, maksudnya, pengaturan gerbang tersebut tidak ditata dengan baik, posisi gerbangnya sangat berdekatan, bahkan bercampur dengan parkiran motor, padahal, andai gerbang tertata rapi kegiatan ini tidak memerlukan spanduk di dekat gerbang.
Mari kita mulai menuju panggung pertunjukan. Saya sempat dikagetkan bahkan sampai mengkerutkan kening melihat posisi tenda untuk tamu undangan—berwarna putih—yang berada di utara benteng, sedangkan, panggung menghadap ke barat, lalu apa yang ingin disajikan buat tamu undangan itu? Rasanya sangat ganjil melihat posisi tenda tersebut. Selain itu, ada juga tenda untuk tamu VIP di atas Bastion Bone, saya kurang yakin mereka bisa menikmati pertunjukan dari atas sana. Kemudian, saya mengitari panggung dan melihat jejeran gerbang Walasuji, secara estetika itu menarik, namun, saya tidak mendapatkan poin relevansi dan tujuan pemosisian tersebut.
Bahkan lebih menarik bila disimpan di beberapa titik, tidak hanya satu lorong itu—lokasinya mulai pintu masuk melintasi bangunan yang dulunya gereja. Sebagai tambahan, para stan kuliner tidak turut bertematik, padahal, apabila mereka disetting berdasarkan tema maritim, spirit pertunjukan dirasakan sampai bagian yang hampir luput ini. Mau bagaimana lagi, seluruh hal yang ada dalam Fort Rotterdam menjadi bagian dari tubuh seni pertunjukan dan tanggung jawab GM sebagai suatu event.
Kembali ke panggung, terdapat beberapa miniatur payung besar berurutan warna kuning-merah-hijau yang berseberangan dengan dua miniatur boneka Kanana’ (boneka tradisional berbahan daun lontar buatan Dg. Manda, seorang maestro tari Pakarena Bura’ne); rajutan sarung—mungkin sampai ratusan motif menyelimuti panggung; serta miniatur kecil mengenai kapal dan konteks maritim. Untuk desain panggung ini, saya belum paham korelasi rajutan sarung tersebut dengan tema pertunjukan secara keseluruhan. Pada pertunjukan pembukaan, Dg. Parewa tampil kembali dari perantauannya. Seperti halnya GM sebelumnya, garapan teater dan tari kolosal disajikan dengan sangat menarik dan atraktif. Suatu hal yang menarik, yakni Dg. Parewa menarasikan perjalanannya sambil bernyanyi, dramatikal pertunjukan sangat menghibur sebagai sajian populer. Di lain sisi, hal yang cukup menjadi fokus saya, yaitu musik iringan pembukaannya, sepertinya, kolaborasi antara ‘musik live’ dan ‘midi digital’ perlu disinkronkan lebih serius, khususnya pada pertunjukan tari kolosalnya, ada beberapa bagian yang ‘patah’, namun masih bisa ditolerir.
Secara keseluruhan, saya punya beberapa poin yang mungkin perlu diperhatikan, dan menjadi saran untuk GM selanjutnya. Adapun di antaranya yaitu:
Perlunya menyinkronkan antara tema dan sajian pertunjukan para penampil. Mengapa hal itu penting? Agar para sanggar dan penampil melakukan suatu kebaruan karya yang ditampilkan. Hampir dominan yang saya saksikan, garapan yang dibawakan para penampil sudah pernah disajikan di tempat lain. Selain adanya kebaruan karya, para sanggar atau penampil juga betul-betul melakukan riset yang tematik dan bertanggung jawab atas karyanya, sehingga kami para penonton mendapatkan pengetahuan baru, bahwa, di lokasi mereka mempunyai spirit atau konteks yang sesuai dengan tema yang ditawarkan. Oleh sebab itu, penyeleksian karya betul-betul terintegrasi dan menghasilkan produk pertunjukan yang berkualitas.
Setelah atau sebelum pertunjukan disiapkan ruang sharing karya. Maksudnya, panitia GM mewadahi para penyaji mendeskripsikan karya masing-masing, yang idealnya berbentuk ruang diskusi atau pembuatan video proses penciptaan karya masing-masing. Sehingga luarannya dapat menjadi suatu bahan kompilasi buku atau media cetak yang menjadi portofolio GM dan masing-masing sanggar.
Kemudian, saya sedikit menyayangkan tidak dilibatkannya aksara lontara’ sedikitpun dalam GM ini. Padahal, ini ajang dakwah atau menyiarkan kembali aksara kebanggaan bersama itu. Apalagi ini merupakan event besar dalam naungan pemprov Sulsel. Seperti di beberapa kegiatan lainnya, banyak kegiatan seolah-olah ber-lontara’, tapi tidak beraksara lontara’, semoga dipahami maksudnya.
Dari rentetan episode GM I-II-III saya masih meraba pesan apa yang ingin disampaikan oleh Dg. Parewa. Apakah hanya sebatas spirit maritim saja? Lalu, relevansinya kepada penonton sampai saat ini apa? Mana pengetahuan barunya? Sekali lagi, tema besar suatu kegiatan idealnya saling berajut dengan pertunjukan lainnya, sehingga kami para penonton mendapatkan titik fokus pada masing-masing pertunjukan yang disajikan event GM ini.
Posisi BPNB sebagai stakeholder pemerintah negara yang menggelar event GM bertanggung jawab penuh terhadap mencerdaskan mental berkesenian dan ruang seni pertunjukan, khususnya skala provinsi Sulawesi Selatan. Hal itu disebabkan sumber anggaran kegitatan GM ialah berasal dari pajak masyarakat.
Salut dan hormat setinggi-tingginya kepada penyelenggara GM I-II-III. Dalam setiap proses tentu diperlukan dinamika yang fluktuatif agar menjadi bahan reflektif. Semoga kedepannya kami mendapatkan sajian pertunjukan yang menambah pengetahuan, sensifitas dan mental berkesenian masyarakat Sulawesi Selatan menjadi lebih baik dan adaptif. Salama’