English English Indonesian Indonesian
oleh

Paraikatte Ruang Berbagi Kebaikan, Pekerja Tak Perlu Cemas

FAJAR, MAKASSAR – Panas terik tak menyurutkan semangat Salehuddin (45) mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Ia sudah bertekad bekerja apa pun demi membahagiakan keluarganya.

Ia rela banting tulang bekerja pagi sampai sore sebagai kuli bangunan. Sudah lima tahun ia lakoni pekerjaannya itu. Selama tiga tahun ia berpindah-pindah menawarkan jasanya menjadi kuli bangunan. Pekerjaannya tak tetap, setiap ada proyek, ia menawarkan diri. Syukur-syukur jika diterima. Kadang ia mendapatkan banyak penolakan.

Kemudian dua tahun terakhir ia bekerja di proyek properti di kawasan Tanjung Bunga Makassar. Namun bukan pekerja tetap, ia dibayar harian. Ia bekerja selama sepuluh jam sehari.

Sehari ia diupah Rp100 ribu. Upah tersebut dibayarkan sekali sepekan, setiap Sabtu sore. Dalam sepekan, ia mengantongi uang Rp600 ribu. Hanya enam hari bekerja, Minggu Salehuddin tetap libur.

Ayah dua anak itu bersyukur sebab keluarganya tak pernah menuntut banyak. Uang Rp600 ribu sepekan sudah bisa memenuhi kebutuhan dapur dan sekolah anak-anaknya. “Kita syukuri saja pak pasti berkah,” ujarnya.

Sebagai buruh bangunan, tentu pekerjaan Salehuddin sangat berisiko. Namun ia tidak peduli lagi dengan risiko tersebut. Ia hanya berpikir bagaimana bisa membawa uang pulang ke rumah. 

“Semua pekerjaan ada risikonya pak. Tapi kita kerja saja demi anak-anak dan istri,” ujar Salehuddin sambil mengaduk campuran semen dan pasir.

Pekerjaannya berisiko sebab bukan hanya sekadar aduk campuran semen. Ia juga sering memanjat bangunan untuk proses konstruksi. Risiko lainnya, bisa saja kejatuhan material bangunan saat proses konstruksi. Namun Salehuddin merasa aman, ia terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan.
“Sudah ada Jamsostek, makanya kami semua tidak khawatir. Biar kerja keras tapi tidak ada cemas sama sekali,” bebernya.

News Feed