Oleh: Mohammad Muttaqin Azikin, Peneliti dan Pengamat Tata Ruang pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation).
Pada akhir pekan lalu, penulis bersama Sosiolog Unhas Dr Sawedi Muhammad diminta menjadi pemantik diskusi dalam rangka Hari Tata Ruang Nasional yang digelar oleh Makassar Research for Advance Transformation (Ma’REFAT Institute) dan Lingkar Mahasiswa Islam untuk Perubahan (LISAN), yang mengangkat topik seperti judul tulisan di atas. Banyak hal yang terungkap dalam forum percakapan tersebut, terutama berkaitan dengan proses pembangunan yang tengah berlangsung di kota Makassar belakangan ini.
Seperti diketahui, Hari Tata Ruang Nasional diperingati setiap tahunnya pada setiap 8 November, untuk meningkatkan kesadaran serta partisipasi masyarakat akan pentingnya penataan ruang. Ironisnya, jangankan di kalangan masyarakat, bahkan pada instansi pemerintah pun – baik Pemprov atau Pemkot – yang terkait langsung dengan penyelenggaraan penataan ruang, juga luput memanfaatkan momentum tersebut melakukan sesuatu untuk mengampanyekan atau menjalankan sosialisasi kepada masyarakat terhadap berbagai hal yang perlu diketahui terkait tata ruang di kota ini, tempat di mana mereka melangsungkan kehidupannya.
Kota Makassar, terus menggeliat dengan berbagai akselerasi pembangunan dalam rangka mewujudkan berbagai “city branding” yang selama ini digaungkan dan dijargonkan oleh Wali Kota Makassar. Hanya saja, proses pembangunan yang dilakukan tersebut, seringkali mengejutkan karena seakan mengabaikan instrumen-instrumen perencanaan dan penataan ruang yang sudah ada. Sebab itulah, setumpuk problem dan persoalan penataan ruang di kota Makassar, terus saja terjadi.
Pertanyaannya, bagaimana dengan arah pembangunan Kota Makassar di usianya yang ke-415 tahun? Pembangunan Kota Makassar sekarang, sedang tidak baik-baik saja. Orientasi pembangunannya juga tidak jelas. Lantas mau ke mana? Entahlah, hanya Wali Kota yang tahu. Dr Sawedi mendaku, semua hal-hal pembangunan mengenai kota seolah-olah merupakan kewenangan Wali Kota saja. Sembari mengutip Henri Lefebvre yang berkata bahwa hegemoni pengetahuan tentang kota pun dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Apalagi, hanya sedikit kelompok dan komunitas yang membangun literasi soal kota dan tata ruang.
Kota Makassar saat ini, meski publikasi branding “Kota Dunia”-nya begitu gemerlap di berbagai media, namun sayangnya tidak berbanding lurus dengan kenyataan serta realitas yang sesungguhnya. Perhatikan saja persoalan-persoalan mendasar yang dirasakan oleh warga Makassar hari-hari ini. Lihatlah seperti apa pengguna jalan di Kota Makassar berhadapan dengan kemacetan setiap hari, serta berbagai sarana sistem transportasi yang masih semrawut. Problem persampahan di kawasan TPA Tamangapa yang tak tertangani baik, padahal dijanjikan TPA bintang lima. Banjir tahunan yang sudah menjelma menjadi “tragedi” tampaknya juga belum teratasi secara serius. Belum lagi, ketimpangan pembangunan yang terjadi akibat tidak dimplementasikannya kebijakan penataan ruang, Perda No.4 tahun 2015 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Makassar 2015-2034, di mana menyebutkan bahwa RTRW Kota Makassar berperan sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan antar wilayah dan kesinambungan pemanfaatan ruang di Kota Makassar. Faktanya, pembangunan Kota Makassar hanya mengikuti selera penguasa, tidak berbasis perencanaan yang matang dan juga tidak berbasis pada kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, apa urgensinya bagi warga Makassar terhadap rencana pembangunan New Balai Kota dan pedestrian layang (Japparate).
Olehnya itu, resolusi warga kota harus diajukan untuk perbaikan arah pembangunan Kota Makassar:
Pertama, Pembangunan Kota Makassar mesti lebih difokuskan pada Visi Daerah yang ingin dituju, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Makassar. Bukan melulu visi Wali Kota yang hanya merupakan visi antara.
Kedua, Rencana Tata Ruang sudah sepatutnya dikembalikan pada posisi sentralnya sebagai pedoman, panduan atau “panglima” pembangunan.
Ketiga, Sebagai wakil rakyat dan penyambung suara warga kota, DPRD harus lebih memaksimalkan fungsi pengawasannya dalam mengawal berbagai problem perkotaan yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang.
Keempat, Pemecahan masalah perkotaan tidak boleh hanya dipercayakan dan menjadi monopoli para perencana kota serta penentu kebijakan. Karenanya, hak-hak warga kota serta pelibatannya dalam seluruh proses pelaksanaan penataan ruang mutlak dilakukan, sebab dijamin dalam Undang-Undang Penataan Ruang.
Akhirnya, warga kota harus lebih sering diajak bicara, dan sedapat mungkin dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, yang langsung atau tidak langsung menyangkut lingkungan dan kehidupan serta masa depan mereka. Dengan demikian mereka tidak hanya sekadar tinggal di kota, tetapi juga ikut merasa memiliki kota, sehingga dapat diharapkan peran sertanya dalam pelaksanaan pembangunan dan penataan ruang perkotaan. Wallahu a’lam bisshawab (*)