English English Indonesian Indonesian
oleh

Bendera Piala Dunia

OLEH: Ahmad Akbar

Di serambi tua ini, air mataku jatuh tanpa henti. Kenangan puluhan tahun silam kembali membuka hijabnya. Duka yang begitu dalam yang Indonesia alami begitu pahit. Ngeri mengingatnya kembali. Namun, apa boleh buat semuanya kembali nyata di depan mataku. Hari ini aku harus menerima dan tenggelam dalam kenangan yang begitu tak terperih. Indonesia dalam penjajahan.

Dengan semangat yang membara di dada, kami berjuang melawan penjajah. Semangat yang berapi-api mampu membakar segala rintangan yang mengadang. Rindu kemerdekaan sudah tak tertahankan

“pitu buttu, ulanddurri

pitu taqena ayu

purai accur naola saliliqu”

Rindu yang sudah tebakar ini takkan mampu menyurutkan langkah ketika itu. Perang melawan penjajah adalah suatu keharusan meski darah dan nyawa taruhannya.

Hampir semua kalangan bersatu kala itu. Sehingga tiba saat masa kami mengetahui bahwa akan ada satu kapal perang penjajah akan berlabuh di tanah yang kami cintai ini. Tanah yang darah dan jiwa ikhlas kami pertaruhkan.

Kami tentu tidak rela membiarkan mereka berlabuh. Diembus angin laut yang terus membelai. Suara ombak berkejaran menerpa pantai menjadi gelora tersendiri bagi kami yang kini berjaga menunggu datangnya kapal penjajah. Lampu kerlap-kerlip dari kejauhan menyilaukan kami. Sinarnya sesekali menerpa nyiur di pantai membuat darah kami mendidih. Dengusnya melebih deru ombak samudera.  Namun malam itu, kami tidak melanjutkan perburuan kami. Kapal yag menjadi incaran kami berhenti. Air laut memang surut malam ini. Untuk sampai dermaga pasti akan kandas.

Namun karena niat kami yang sudah bulat demi bangsa yang terhormat, laut takkan menjadi penghalang bagi kami, jarak yang tidak begitu jauh akan dengan mudah kami seberangi meski dengan berenang. Jangankan hanya dengan ombak dengan siraman peluru pun takkan menyurutkan deras ombak perjuangan kami.

Dengan berenang dan bersembunyi di balik dari perahu ke perahu sebagai tempat kami berlindung. Akhirnya kami tiba tepat di bawah kapal barang milik penjajah itu. Beberapa senjata dan taktik telah kami susun dengan baik. Dan tentu dengan perencanaan yang begitu matang. Hingga akhirnya kapal itu mampu kami kuasai dan dengan bangga kami merobek bendera penjajah itu dan mengibarkan merah putih di langit malam bangsa ini.

Aku menyeka air mata yang berlinang membasahi pipiku. Air mata perjuangan. Air mata yang takkan pernah dirasakan oleh anak sekarang. Haru yang membanggakan. Lamunanku terjaga sesaat berita di televisi terdengar dari dalam rumah memberitakan kembali KPK menangkap dalam operasi tangkap tangan beberpa pejabat teras negeri ini tengah melakukan tindak kejahatan atas nama tugas negara. Lagi-lagi darah dan air mata kami yang dulu, seolah dihargai hanya dengan perlakuan tidak senonoh kepada negeri ini. Dulu kami mati-matian membela bangsa, sekarang kalian mati-matian menghabiskan dan memakan uang negara. Dulu kami rela berkorban untuk negara tapi sekarang mereka menjadi lintah penghisap darah negeri.

Masih sangat jelas pidato Soekarno ketika itu.

“Perjuangan kita lebih mudah karena melawa penjajah. Tapi perjuangan kalian kan lebih berat karena melawa saudara sendiri”.

Apa yang salah dengan perjuangan dahulu. Sehingga hari ini begitu mudah seseorang  menginjak-ijak harga diri bangsa. Ataukah kami yang terlalu berlebihan mencintai bangsa ini. Atau beginikah cara sekarang memperlakukan negaranya.

Aku kembali dihantui lamunan penjajahan oleh para keparat itu. Kalau dulu kami bejuang mempertahankan negeri kami dari penjajah dengan taruhan nyawa itu begitu mudah. Tapi bagaimana menyingkirkan sanak saudar sendiri saat ini.

Ach! Aku sadar bahwa lain dulu lain sekarang. Tugas kami telah selesai. Harga bintang di dada kami sebagai veteran cukuplah bersinar di hati kami yang dalam. Tanda kehormatan itu akan terus kami banggakan sebagai bentuk bakti kami pada bangsa. Kini masa kalian yang muda. Lakukanlah seenakmu akan bangsa ini. Makanlah seenak perutmu hasil bumi Indonesia ini. Bagunlah setiap sudur Istana megah untuk kalain bersenda gurau. Namun itu tak ada pengaruhnya bagi kami. Lampu yang berkilau dari istana megah yang kalian dirikan tidak lebih indah dari ledakan bom penjajah di atas rumah-rumah penduduk. Bendera yang dengan hormat palsu kalian naikkan takkan menggetarkan hati kami dan takkan sebanding pengorbanan kami merobek bendera penjajah untuk menyisakan merah putih dari warna benderanya.

“Kakek! Kenapa kakek terlihat sedih? Tanya cucuku menyadarkan aku dari lamunan.

“Ah tidak apa-apa Mario, aku hanya melamun. Kau bawa apa yang di tanganmu” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Ini jadwal Piala dunia kek” sambil memperlihatkan poster yang dibawanya.

“Memang ada apa dengan itu” tanyaku sambil meminum kopi yang mulai dingin.

“Kakek! Sekarang dunia akan berpesta merayakan dukungan terhadap tim kesayagannya”

“Apa Indoneisa ikut juga, sehingga kamu begitu gembira”

“Walahhhh kakek, jangan mimpi kek. Ini piala dunia yang Indonesia tidak akan pernah mencapainya. Kek! Sini kek.. lihat ke udara”

Mario menggandeng tanganku menuju depan rumah. Namun dengan  cepat aku menarik tanganku menolak karena ingin melihat tayangan televisi yang memberitakan terjadi ledakan bom.

“Ayolah kek” paksa Mario. Namun aku tetap berkeras untuk tidak mengikuti kemauan anak itu. Namun karena tiba-tiba dia berada di belakangku dan mengangkat kedua lenganku akhirnya aku berdiri juga dan berjalan menuju serambi depan rumah.

Sekujur tubuhku bergetar. Dadaku sesak. Kiamat seakan tiba-tiba datang tanpa tanda-tanda besar sebelumnya. Matahari seakan terbit dari barat sebelum waktu yang telah ditentukan melihat bendera yang dengan penuh perjuangan dan taruhan nyawa aku sobek di atas sebuah kapal milik penjajah untuk mempertahankan dan menunjukkan kibaran merah putih. Bendera penjajah itu kini berkibar di halaman rumahku.

“Kakek, itu tim kebangganku, HORMAT GERAK!” (*)

Ahmad Akbar, Pegiat Sastra Mandar/Humas STAIN Majene

News Feed