OLEH: Khairil Anwar, M.A/ Penggitat Kajian Budaya dan Media/Pengurus Katabumi (Keluarga Alumni Kajian Budaya dan Media UGM)
Pusat kebugaran tubuh atau lebih akrab dikenali dengan sebutan gym, belakangan ini menjamur terutama di kawasan perkotaan. Tidak hanya kota besar, namun juga merambah ke kota-kota kecil. Bukan cuma gym saja yang digemari, beberapa orang memilih kegiatan lain yang menurutnya lebih ringan seperti yoga. Meski tidak begitu saja bisa diklaim, namun bisa dikatakan bahwa sebagian besar penduduk kota mulai menyadari pentingnya bergaya hidup sehat.
Dahulunya gym merupakan tempat yang sangat maskulin. Mereka yang mengadu otot dengan alat-alat sebagian besar adalah kaum laki-laki. Namun belakangan, meskipun belum lebih banyak tetapi keberadaan perempuan juga jumlahnya hampir berimbang. Tentu saja ini hawa segar bagi perempuan, mereka sudah menjadi diri otonom dengan masuk ke ruang yang di stereotipkan maskulin.
Eitts tapi tunggu dahulu. Apa benar perempuan sudah menjadi subjek otonom atas tubuh mereka? Beberapa teman perempuan yang saya tanyai, alasan mereka ikut gym karena menginginkan bentuk tubuh yang ideal. Mereka pun akhirnya rela mengisi waktu luang mereka dengan mengolah tubuh di gym. Tapi ada juga yang beralasan karena kantornya mengharuskan karyawannya berpenampilan menarik dalam hal ini berurusan dengan bentuk tubuh.
Meskipun dengan alasan yang berbeda-beda, satu hal yang sama dari mereka adalah berhasil menurunkan berat badan dari sebelumnya bahkan mendapatkan bentuk tubuh yang mereka impikan. Mereka pun jadi semakin giat latihan, berbarengan dengan giatnya jemari mereka mengunggah foto tubuhnya atau video ketika latihan di sosial media.
Seketika mereka pun menjadi populer di kalangan pengikutnya, banyak yang berkomentar positif yang memuji bentuk tubuhnya tapi ada juga yang nyinyir. Netizen nyinyir ini biasanya mencari-cari bentuk tubuh yang masih belum ideal seperti perut yang belum rata atau berotot atau tentang selulit yang masih menumpuk di beberapa bagian tubuh. Tapi rupanya mereka tidak hanya netizen yang nyinyir, pelatih kebugaran pun mulai memperhatikan dan memberi masukan soal bentuk tubuhnya.
Beberapa dari mereka memilih abai karena merasa sudah puas. Tapi tidak sedikit juga yang percaya perkataan para trainer ini untuk meningkatkan performativitas tubuh mereka. Mereka mulai mengonsumsi suplemen kebugaran, menerapkan diet ketat, pola makan yang teratur, tidak boleh ini itu dan porsi latihan yang lebih lama untuk menunjang program pembentukan badannya. Semakin mereka banyak latihan, semakin pula mereka dikoreksi kekurangan tubuhnya. Dan semakin hari, mereka semakin tidak puas dengan apa yang telah dicapainya.
Hmm..sampai di sini apa perempuan masih menjadi subjek yang otonom? Mari kita lanjutkan.
Sampai suatu ketika mereka merasa frustasi dan benci dengan bentuk tubuhnya. Mereka tidak lagi percaya diri dengan bentuk tubuhnya saat itu. Kepercayaannya akan tubuh yang ideal itu diproduksi oleh para pelatih kebugaran yang tiap saat menilai masih ada yang kurang dari bentuk tubuhnya. Sampai dititik ini, mereka sudah lupa berbagai alasan awal untuk ke gym, seolah hanya ada satu alasan, meraih tubuh ideal.
Sampai di titik ini, kita bisa melihat bagaimana media dalam hal ini para awak industri kesehatan dan kecantikan telah berhasil menjajakan wacana bentuk tubuh ideal kepada konsumennya. Konsumen yang tidak sadar, menjadikan bentuk tubuh ideal itu sebagai obesesi yang harus dipenuhi untuk melampiaskan hasrat mereka. Padahal bentuk tubuh ideal yang ideal itu sendiri masih tidak jelas seperti apa. Apakah yang ideal itu adalah berbadan langsing, dada besar, perut rata dan tanpa gelambir lemak?
Media berperan besar dalam menentukan seperti apa kita saat ini. Tidak hanya urusan cantik yang harus berkulit putih berkilau dan bentuk muka yang tirus tapi sudah ke urusan tubuh. Bahwa ideal itu harus berbadan kurus, berperut rata, berdada besar atau apalah lainnya β perempuan bebas memilih seperti apa cantik itu. Tapi sekali lagi semua yang saya sebutkan itu adalah bentuk ideal yang diproduksi media. Sederhananya mereka sedang berdagang, berjualan produk kesehatan dan kecantikan namun agar laris manis, mereka harus membentuk imajinasi dan perlu kesepakatan pada calon konsumennya tentang apa yang mereka sebut bertubuh ideal itu.
Kalau kata Foucault nih ye, pendisiplinan terhadap tubuh itu merupakan sarana untuk menciptakan tubuh-tubuh yang patuh. Caranya yaitu penguasa atau media membuat kriteria tunggal misalnya seperti apa yang tubuh yang ideal itu. Untuk membantu cara kerjanya dibutuhkan panopticon berupa instruktur kesehatan yang mengawasi dan memberi masukan atas kekurangan pada bentuk tubuh kita. Atau melalui iklan yang terus menerus menjejeli kita bentuk tubuh ideal.
Nah sebagai perempuan, juga laki-laki yang terobsesi dengan tubuh berkotak-kotak, yah semestinya kita cukup menjadi nyaman saja dengan tubuh kita. Atas dasar kesehatan, tak apalah untuk melakukan olah tubuh baik di gym, ikut yoga atau sekedar jogging tiap akhir pekan. Tapi tidak usah begitu terobsesi dengan bentuk tubuh seperti yang diidealkan oleh para awak industri tersebut, kecuali kalian bercita-cita menjadi atlet binaraga. (*)