English English Indonesian Indonesian
oleh

Daeng Parewa Kembali Tanpa Rempah-rempah

OLEH: Irwan AR

“Kualleangi tallanga na toalia” (Lebih baik Tenggelam Daripada surut kembali)

Daeng Parewa akhirnya kembali menjejakkan kaki di Butta Manggakasarak, tanah para Karaeng, pemberani gagah dan pelaut ulung. Riuh orang – orang seantero kampung dipesisir laut Makassar menyambutnya dengan riang dan penuh haru, bagaimana tidak sudah lebih setahun lamanya Daeng Parewa bersama orang-orangnya belayar dalam rangka berdagang rempah-rempah menyusuri Pulau – pulau seperti Maluku, Banda, Ternate, Bima, Selayar, Bira, dan kembali ke dermaga di Makassar.

Bukan hanya to Samarakka (masyarakat biasa) yang begitu gembira menyambut kedatangan Daeng Parewa sambil menahan rindu dan rasa penasaran kisah-kisah apa yang dibawanya pulang. Tapi juga para pembesar, Bangsawan, saudagar dan tokoh-tokoh penting lainnya pun turut menyambut dan mengantarkan ke lapang benteng Panyyua yang berada tepat di bibir pantai laut Makassar itu untuk menggelar ritus-ritus penyambutan. Seperti Appasiama’ Butta yang secara harfiah berarti “menyatu kembali dengan tanah kelahiran” mengembalikan segenggam tanah dari tanah kelahiran yang dibawa dalam pelayarannya kembali ke bawah anak tangga rumahnya kembali. Ritus itu juga dilanjutkan dengan Appasili  pembersihan jiwa dan raga setelah sekian lamanya dipelayaran.

Orang-orang yang turut dalam penyambutan dan acara yang dibuat untuk menyambut Rombongan Daeng Parewa tersebut tak sabar mendengarkan apa gerangan yang telah ditemui dan dilewati Daeng Parewa khususnya yang terjadi di lautan.

Daeng Parewa Legenda Baru

Kisah di atas sebuah kisah yang meminjam situasi masa lampau tanah Sulawesi Selatan khususnya masyarakat pesisir dan Napak tilas perjalanan jalur rempah yang menjadi masa kejayaan Sulsel dahulu kala. Daeng Parewa sendjri adalah tokoh fiksi yang diciptakan Alief Anggara aktor yang memerankan Daeng Parewa sekaligus sutradara yang membuat karya pertunjukan Teater Kolosal Daeng Parewa. Tokoh ini dibuat terinspirasi dari kisah sejarah 5 Opu yakni Daeng Parani, Daeng Manambum, Daeng Marewah, Daeng Celak dan Daeng Kemasi. Kelima bersaudara tersebut adalah tokoh-tokoh pelaut Makassar yang berdagang dari Makassar menjelajah pesisir -pesisir pantai mengarungi lautan hingga ke negeri-negeri Melayu. Bahkan mereka turut menetap dan menjadi pemimpin – pemimpin dibeberapa tempat di tanah Melayu tersebut.

Pertunjukan Teater Kolosal Daeng Parewa sendiri telah dimulai sejak 2019 silam sebagai bagian utama dari kegiatan Gau’ Maraja yang dibuat Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulawesi Selatan. Pertunjukan ini menjadi ikon tersendiri bagi Gau Maraja tersebut bahkan tak berlebihan bila menganggap Kisah Pelayaran Daeng Parewa ini adalah nyawa bagi Gau’ Maraja’. Sebab sejak dicetuskan di 2019 pertama kali di Center Point of Indonesia (CPI) Makassar, lalu kembali dilanjutkan tahun 2020 di bulan yang sama Oktober dengan memakai area pesisir pantai Akkarena dan yang baru saja diselenggarakan untuk tahun 2022 ini di situs peninggalan sejarah Benteng Panyyua atau Benteng Rotterdam, Pertunjukan Daeng Parewa menjadi jalinan kisah yang mengangkat tema-tema penting Gau’ Maraja’ seperti kebudayaan Maritim dan Mozaik Budaya Jalur Rempah serta Spirit Pelayaran Jalur Rempah.

Alif, yang saya temui selepas hajatan besar tersebut banyak bercerita tentang proses gagasan kisah Daeng Parewa ini muncul lalu digarap sebagai pertunjukan kolosal yang berlangsung secara simultan dalam tiga tahun berentetan ini. Alif mulai menyadari Daeng Parewa telah melekat menjadi menjadi alter ego nya, orang-orang yang mengikuti Gau Maraja’sejak 2019 hingga 2022 ini ataupun hanya menyimak saat 2022 ini telah mengindentikkan Daeng Parewa dengan Alif sebagai pemerannya. Sementara Daeng Parewa adalah tokoh fiksi sejarah. Meminjam istilah sastra kisah Daeng Parewa adalah novel sejarah. Secara sederhana itu dijelaskan sebagai kisah yang alurnya memakai masa lampau sejarah tertentu. Dengan begitu kisah Daeng Parewa seharusnya dipandang sebagai kisah fiksi yang meminjam latar sejarah beserta ritus-ritus masa lampau. Saya lebih memilih menggunakan istilah tokoh fiksi alij-alih tokoh fiktif. Fiktif lebih diasosiasikan sebagai bohong dan tidak sesuai fakta. Fiksi adalah rekaan imajinasi senimannya yang terinspirasi dari beberapa fakta dan dokumen sejarah.

Representasi Masyarakat Maritim dan Kejayaan Rempah-rempah

Dalam penciptaan karya seni. Kita mengenal teori representasi atau mewakili secara identik baik karakter atau latar. Daeng Parewa adalah tokoh fiksi yang merepresentasikan masyarakat pesisir di Makassar masa lampau ketika jalur perdagangan khususnya rempah-rempah menjadi begitu ramai. Bandar Pelabuhan di Makassar menjadi satu yang cukup penting kala itu. Representasi itu juga menggambarkan Kebudayaan maritim yang dilakoni masyarakat pesisir kala itu dan hingga kini yang mengarungi lautan menggunakan kapal-kapal baik sebagai nelayan, pedagang hasil bumi atau rempah – rempah  hingga sebagai pertahanan serangan di lautan.

Seperti saya kemukakan di atas, Daeng Parewa adalah tokoh fiksi yang merepresentasikan masyarakat pesisir di Makassar. Tema masyarakat maritim maupun menengok kembali kejayaan perdagangan rempah-rempah dan arti pentingnya para pedagang Bugis Makassar kala itu (bahkan sebenarnya hingga kini) ditampilkan pada sebuah pertunjukan kolosal diungkapkan dalam strategi pertunjukan yang direpresentasi oleh tokoh rekaan yang diciptakan Alif Anggara yakni Daeng Parewa. Strategi ini seperti dikemukakan di atas adalah sesuatu yang khas dalam seni pertunjukan. Agar pertunjukan tersebut menarik dan punya unsur dramatiknya. Pola alurnya adalah pola teater konvensional dengan tiga babak yang ditampilkan sejak 2019

Kisah Daeng Parewa dengan seluruh unsur didalamnya, tari massal, musik tema, instalasi seni rupa hingga Seni multimedia  menjadi strategi pertunjukan. Sebagai pertunjukan maka yang ditampilkan adalah simbol-simbol sarat makna yang merepresentasikan sesuatu dan disusun dalam struktur dramatiknya. Berbeda dengan ritual yang berfungsi sebagai komunikasi transenden diikat dalam konteks ruang dan waktu. Adegan ritus Appasili misalnya yang dipertunjukkan dalam Gau Maraja’dilihat sebagai representasi Appasili, bukan sebagai Appasili itu sendiri.

Konsep Pertunjukannya kolasal sebagai konsukensi dari kegiatan yang diniatkan sebagai kegiatan besar (dari makna Gau’ Maraja’) meringkas ruang dan waktu sejarah maritim dan pelayaran perdagangan rempah-rempah. Bahkan karena pagelaran Gau Mauraja 2020 situasinya saat pandemi hingga pertunjukan Daeng Parewa ini membutuhkan dimensi lain yakni lewat multimedia. Adegan saat tiba di Buton telah direkam lebih dulu di kota Buton lalu saat Gau Maraja’ di pantai Akkarena ditampilkan lewat layar besar dan direspon pemain yang ada di panggung. Sementara pertunjukan Daeng Parewa terakhir di benteng Panyyua Makassar struktur dramatiknya sudah dibangun sebelum pementasan dan menjadi bagian dari pementasan lewat film-film pendek yang disebar ke beberapa platform media sosial seperti YouTube, Facebook dan Instagram. Video-video tersebut dibuat dengan sengaja tidak dimaksudkan sebagai sebuah film iklan yang mempromosikan untuk mengajak orang menonton pertunjukan di Gau Maraja’ seperti lazimnya trailer film untuk promosi pemutaran film di bioskop. Tapi scene – scene  di film itu membangun cerita Daeng Parewa babak ketiganya. Ia bahkan menjadi strategi bagi Alif menyingkap cerita yang lebih utuh dari Daeng Parewa misalnya tentang siapa sih Daeng Parewa ini.

Daeng Parewa yang Pulang Tanpa Rempah-rempah

Akhirnya setelah satu  tahun  berlayar menyusuri jalur rempah, daeng Parewa dan rombongan pulang juga. Ia disambut dengan penuh suka cita warga kampung di pesisir pantai Makassar. Sayangnya Daeng Parewa tak pulang dengan rempah-rempah, orang-orang yang menyambutnya juga tak menanyakan itu. Orang-orang malah tak sabar ingin mendengar kisah apa saja yang telah dialami oleh Daeng Parewa dan rombongan ekspedisinya selama ini.

Lalu dengan memakai elemen pertunjukan opera Daeng Parewa mulai bercerita yang diringkas dengan 3 cerita utama yaitu, cerita tentang keramahan penduduk dan penyambutan masyarakat di daerah yang mereka datangi seperti di Maluku, Buton Selayar dan Bira. Cerita kedua adalah kisah kapal Daeng Parewa yang diterjang badai ditengah lautan. Untungnya mereka melewati itu dan karena itu Daeng Parewa dianggap mengajarkan teknik menjadi nahkoda dan pelaut yang handal. Kisah yang ketiga masih dilautan saat Kapal Daeng Parewa terpaksa meladeni konflik perang yang diceritakan kerap terjadi perselisihan dengan pedagang lain atau juga dengan penguasa setempat hingga kemudian aturan maritim dan perdagangan dibuat dan dikenal sebagai Hukum Maritim Ammana Gappa.

Daeng Parewa memang tak membawa rempah-rempah sebab ia berdagang keluar, ia mengumpulkan Rempah-rempah tersebut dari berbagai daerah penghasil. Komoditi ini adalah barang yang sempat menjadi primadona kala itu. Daeng Parewa pulang sesaat untuk kembali berlayar untuk membagikan kisah pada masyarakat kampungnya yang berisi pengalaman dan pengetahuan sebagai bentuk pertukaran budayanya dengan bangsa-bangsa dan masyarakat yang ditemuinya semasa pelayaran. Ia juga menitipkan pesan kepada putranya bahwa nenek moyangnya adalah pelaut ulung.

Alif Anggara sendiri kepada saya menyampaikan kisah Daeng Parewa tuntas di Gau Maraja’2022 yang lalu tapi Daeng Parewa rencananya akan ia pentaskan secara utuh 3 babak diatas panggung teater yang sebenarnya dengan strategi pemanggungan yang berbeda. Kita tunggu saja.

***

Irwan AR, penulis adalah penyair, penulis buku puisi Rumah Rindu dan kumpulan esai Kesibukan Membunuh Virus. Tinggal di Makassar bekerja sebagai penulis lepas dan pekerja seni.

News Feed