English English Indonesian Indonesian
oleh

Gau Maraja: Menanggapi Hasil Pembacaan Tiga Episode Fadhly Kurniawan

Oleh: Alif Anggara, Sutradara Teater

Saya begitu senang dengan hadirnya Muhammad Fadhly Kurniawan, seorang anak muda yang begitu berantusias dalam membaca pertunjukan di Sulawesi Selatan. Alli’ (begitu saya menyapanya) adalah seorang peneliti transkrip tradisi lisan keluaran UI yang sekarang aktif di Makassar.  Hal ini patut untuk dibanggakan dan diberi apresiasi.

Dalam sebuah tulisan yang dimuat di halaman literasi harian.fajar.co.id pada Rabu 14 Desember 2022, Fadhly mencoba membaca Gau Maraja (selanjutnya GM) dengan tiga episode yang pernah di selenggarakan di kawasan Center Point of Indonesia (CPI) tahun 2019, Pantai Akkarena, tahun 2020, dan di Benteng Fort Rotterdam, September 2022.

Di tiga event ini, saya diberikan kepercayaan  oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan (BPNB) untuk menjadi sutradara pertunjukan. Setelah saya membaca tulisan Fadhly terkait GM, saya menangkap bahwa ulasannya begitu sangat teknis, dan saya rasa saya tidak perlu untuk terlalu menanggapi hal tersebut karena memang hal-hal teknis itu adalah permukaan yang pasti akan menyesuaikan ruang dan waktu. Yah, benar bahwa hal teknis itu penting sebagai bahan evaluasi untuk GM ke depannya. Akan tetapi, saya kemudian lebih tertarik untuk masuk lebih dalam tentang GM itu sendiri.

Gau Maraja adalah program Balai Pelestarian Nilai budaya (BPNB). Pemilihan nama Gau Maraja sendiri melalui proses kajian yang panjang dan melibatkan akademisi misalnya seperti bapak Dr. Mukhlis Hadrawi seorang pakar bahasa daerah. Gau’ adalah sebuah perbuatan atau kegiatan, sementara Maraja adalah besar atau akbar. Di dalam naskah Lagaligo, frasa Gau Maraja digunakan untuk acara yang berlangsung beberapa hari, memiliki banyak kegiatan, menghidangkan beragam makanan dan menghadirkan berbagai lapisan masyarakat.

Kemudian yang menarik menjadi pertanyaan adalah apa sebenarnya dibalik GM ini? Penyelenggaraan GM memiliki visi pelestarian nilai budaya. Selain itu juga menjadi alat diplomasi budaya dan tentunya ditujukan untuk membangkitkan kembali spirit nilai kebudayaan. GM dikemas dalam konteks kekinian yang tidak serta merta dengan sebuah festival yang sifatnya entertaint, tetapi juga sebagai upaya pelestarian nilai budaya dengan melibatkan kelompok-kelompok yang memang membawa materi pertunjukan yang sarat dengan nilai-nilai kebudayaan.

Selanjutnya saya akan mencoba untuk sedikit mengulas tentang konten pertunjukan ‘Daeng Parewa’. Siapa sebenarnya Daeng Parewa? Pertanyaan ini banyak muncul setelah Daeng Parewa dipentaskan tiga kali dalam event yang sama. Saya sebagai orang yang dipercayakan menjadi sutradara dalam pertunjukan ini menghadirkan tokoh imajinatif Daeng Parewa.

BPNB sebagai bagian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan turut mendukung program kementerian tentang jalur rempah nusantara. Sejalan dengan program tersebut maka tiga babak pertunjukan Daeng Parewa kemudian dihadirkan sebagai tokoh yang di harapakan bisa menghadirkan spirit bahari Bugis Makassar. Tokoh inilah kemudian yang menjadi alat dalam menyampaikan berbagai hal tentang nilai-nilai kebudayaan bahari. Ia adalah seorang pelaut ulung, seorang pedagang, diplomat, bangsawan. Entitas bugis Makassar dapat kita masukkan dalam tokoh Daeng Parewa.

Dalam beberapa adegan dapat kila lihat bagaimana saat Daeng Parewa berlayar dan meneriakkan semboyan pelaut Makassar, bercerita tentang hubungan diplomasi, hubungan persaudaraan dengan orang-orang diberbagai penjuru, tentang hukum laut Amanagappa, dan lain-lain yang mungkin hal tersebut baru kita ketahui pada saat menyaksikan pertunjukan ini.

Hal yang menarik dari tulisan Fadlhy adalah sharing karya. Benar bahwa sebaiknya dalam acara GM masing-masing diberikan ruang khusus untuk mendiskusikan karya yang telah diciptakan agar pengetahuan dalam proses penciptaan bisa menjadi referensi untuk penciptaan karya. Selanjutnya dan hasil dari diskusi tersebut bisa menjadi portofolio bagi kelompok seni maupun  BPNB sendiri.

Sharing karya seni dapat membuat pelaku seni lebih bertanggung jawab terhadap karya yang telah diciptakannya. Hal ini karena saat menyebarkan karya seni kepada masyarakat luas, pelaku seni akan terbuka terhadap tanggapan dan kritik yang datang dari orang lain. Pelaku seni akan lebih memperhatikan detail dan kualitas karya yang diciptakannya, sehingga tidak terjadi kesalahan atau kekurangan yang dapat mempengaruhi keseluruhan karya tersebut. Selain itu, pelaku seni juga harus bertanggung jawab atas hak cipta karya yang telah diciptakannya, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak cipta oleh pihak lain.

Ke depan semestinya GM dapat menjadi tempat bagi pelaku seni untuk bertemu dan bertukar pikiran dan ide dengan pelaku seni lainnya melalui sharing ataupun diskusi karya. Hal ini dapat terjadi saat pelaku seni yang berbeda-beda berkumpul dan tampil dalam GM, sehingga tercipta kesempatan bagi mereka untuk saling berinteraksi dan bertukar pikiran dan ide.

Bertukar pikiran dan ide dapat membantu pelaku seni untuk terus belajar dan mengembangkan keterampilan seninya, karena mereka dapat belajar dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku seni lainnya. Selain itu, bertukar pikiran dan ide juga dapat membantu dalam menciptakan sinergi antar pelaku seni, sehingga dapat tercipta karya-karya yang lebih baik dan berkualitas.

Tradisi diskusi karya seni sebelum maupun setelah disajikan dapat membantu pelaku seni dalam meningkatkan kualitas karya seni yang dibuatnya, serta memberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang dari pengalaman dan pengetahuan pelaku seni lainnya. Dengan demikian, GM dapat menjadi ruang interaksi antara seniman dan karya seni itu sendiri.

Dari pembacaan tiga babak pertunjukan GM oleh Fadhly, sangat memberikan masukan bagi saya sendiri sebagai sutradara dan tentu menjadi catatan penting bagi tim kreatif. Meskipun pembacaan Fadhly begitu teknis tetapi sangat penting untuk kita respons sebagai evaluasi untuk event selanjutnya.

Sejatinya sebagai seorang akademisi Fadhly dengan masukan dan kritikannya terhadap seni pertunjukan GM telah memantik saya untuk menulis dan juga kembali membuka ruang dialektika bagi para pelaku seni dan akademisi untuk saling menanggapi secara intelek. Akhirnya, kritikan bukanlah sebuah penghakiman bagi pengkarya tetapi justru hal demikian dapat memberikan peluang untuk menghadirkan karya yang lebih baik dari sebelumnya. Meminjam pernyataan Kuspit (1994): Tujuan kritik adalah evaluasi, apresiasi, dan pengembangan ke taraf yang lebih kreatif dan inovatif. Bagi masyarakat kritik seni berfungsi untuk memperluas wawasan seni. Bagi seniman kritik tampil sebagai ‘cambuk’ kreativitas.

Akhirnya GM tidak akan kerdil karena kritikan, tetapi justru dengan kritikan atau respons dari pengamat akan membuat GM membenahi diri untuk bisa kita apresiasi bersama. Terima kasih. (*)

News Feed