OLEH: Dian Fitri Sabrina, Dosen Ilmu Hukum Unsulbar
Mahkamah konstitusi (selanjutnya di sebut MK) sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam penegakan hukum dan keadilan MK mempunyai sembilan orang anggota Hakim MK yang ditetapkan oleh Presiden. 9 Hakim MK masing-masing tiga orang diajukan oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh Hakim MK. Sifat putusan Hakim MK adalah mandiri dan merdeka, tidak boleh dipengaruhi oleh kekuatan politik dan unsur kekuasaan lainnya.
Kewenangan Hakim MK adalah untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945 dan membatalkan norma dalam UU jika ditemukan makna norma dalam UU bertentangan UUD NRI 1945 (Inkonstitusional). Kedudukan Hakim MK untuk perpanjangan masa jabatan tidak jelas tolok ukur yang digunakan untuk menentukan apakah Hakim MK masih dianggap layak untuk dipilih kembali dan diteruskan masa jabatannya, kapan seorang Hakim MK disebut sebagai negarawan atau tidak dan apakah masih memenuhi syarat sebagai Hakim MK?
Berdasarkan Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Seorang Hakim MK adalah seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat negarawan ini tidak ditentukan untuk jabatan kenegaraan lain dalam UUD NRI 1945 sehingga memiliki makna tersendiri apabila dikaitkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Bahkan Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari pada saat itu menekankan kembali tentang dasar pemikiran itu saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang. Baginya syarat negarawan merupakan orang yang tidak terikat dengan kepentingan apapun kecuali untuk mengawal konstitusi secara benar dan baik. Berdasarkan hal tersebut tidak ada alasan yang dapat dibenarkan terkait tindakan DPR RI dalam pencopotan Prof. Aswanto sebagai Hakim MK.
Mekanisme pencopotan Hakim MK telah jelas diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 7 tahun 2020 selanjutnya disebut UU MK. Pemberhentian Hakim MK, Prof Aswanto dari jabatannya oleh DPR dengan alasan tidak memiliki komitmen karena menganulir UU yang dibuat DPR merupakan alasan yang tidak mendasar, tidak ada dalam UU dan menyalahi prosedur yang ada. Pasal 23 Ayat 4 UU MK menyatakan bahwa pemberhentian Hakim MK hanya bisa dilakukan dengan Keputusan Presiden atas permintaan dari Ketua MK.
Bahkan secara prosedural calon yang diusulkan oleh 3 lembaga negara terpilih diserahkan kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya. Jika merujuk pada sebuah prinsip salus populis supreme lex esto yang diartikan sebagai keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara artinya keselamatan rakyat diatas segalanya. Keselamatan rakyat terkait dengan kondisi darurat negara yang berdampak luas terhadap rakyatnya.
Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan keselamatan rakyat, rakyat yang mana yang dimaksud, apakah ketika UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang kemudian dicabut oleh Hakim MK dianggap membahayakan keselamatan rakyat dan diartikan negara dalam kondisi darurat?. Kembali kepada kewenangan Hakim MK yang merupakan tugasnya untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945. Bukan merupakan hal baru jika ada seorang Hakim MK yang menganggap bahwa produk UU yang berlaku itu inkonstitusional, dan tidak jarang beberapa Hakim MK disetting opinion terkait makna terkandung dalam UU dianggap tidak sejalan dengan UUD NRI 1945.
Meskipun langkah DPR sejalan dengan pertimbangan MK yang diputus oleh Prof Aswanto yang menegaskan bahwa ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang sedang menjabat sebagai Hakim MK, maka mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Namun tidak semata-mata tindakan tersebut menyalahi norma hukum yang berlaku. 3 (tiga) lembaga negara yang mengusulkan anggota Hakim MK tidak semata-mata dengan kehendaknya melakukan tindakan hukum terhadap hakim yang masih menjabat saat ini.
Harusnya DPR mentaati UU yang telah dibuat dan disepakati bersama sehingga tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang dibuat sendiri, ini dapat dimaknai bahwa DPR menentang UU yang dibuat sendiri. Pemaknaan kata oleh dalam pengusulan Hakim MK tidak dapat diartikan sebagai kewenangan penuh lembaga tersebut melakukan tindakan hukum untuk melakukan pencopotan. Makna oleh hanya sebagai syarat prosedur dalam pengusulan Hakim MK dan tidak ada kaitannya dengan mekanisme pencopotan Hakim MK.
Bukan berarti Hakim MK diusulkan oleh 3 (tiga) lembaga negara kemudian lembaga tersebut yang mencopotnya karena hal itu tidak ada dalam UU. Tindakan hukum yang dilakukan oleh DPR akan dimaknai sama dengan kedudukan Presiden terpilih yang diusulkan oleh partai politik peserta pemilu, di mana partai politik dapat melakukan pencopotan terdapat Presiden yang diusung. Meskipun dalam konstitusi dan UU jelas mengatur mekanisme pencopotan Presiden dan wakil Presiden, tentunya hal tersebut tidak dibenarkan secara hukum dan inkonstitusional. (*)