English English Indonesian Indonesian
oleh

Aktivis Reformasi 98 Bakal Berkumpul Malam Hari, Ada Apa?

FAJAR, MAKASSAR-Aktivis 98 akan berkumpul. Pertemuan itu bersama dengan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) Pius Lustrilanang, Jumat, 11 November 2022. Lokasi perjumpaannya di Lantai 19 Graha Pena, Makassar, pukul 19.00 WITA.   

Reuni Aktivis 98 itu juga dirangkaikan diskusi “ALDERA dan Refleksi Gerakan Politik Kaum Muda”. Pius Lustrilanang yang saat ini anggota VI BPK RI hadir sebagai keynote speaker, pembicara lainnya Pembantu Rektor III Unhas era Reformasi Prof Amran Razak, dan Adi Suryadi Culla akademisi/pengamat politik, sementara moderatornya Hasrullah yang juga akademisi memandu jalannya diskusi.

Pimred Harian FAJAR, Arsyad Hakim mengatakan, buku ALDERA didiskusikan di Graha Pena. Ada juga agenda Reuni Aktivis 98 di Lantai 19. “Reuni lebih santai, lebih ke ajang nostalgia. Meski ada diskusi, hanya seputar romantisme aktivis 98 dan menghadirkan adik-adik mahasiswa, aktivis zaman sekarang,” katanya.

Sekadar diketahui, Buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda setebal 308 halaman terbit tahun 2022. Buku ini ditulis Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, dan Rahadi T Wiratama menceritakan perjalanan anak muda dalam sejarah Indonesia. Peristiwa 1998 tak bisa dilepaskan dari mahasiswa yang berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru.

Nama Pius Lustrilanang dalam dunia pergerakan mahasiswa tidak hanya dikenal sebagai Sekjen Aldera, tetapi juga korban penculikan. Pius sempat menghebohkan Indonesia setelah ia memberikan keterangan sebagai korban penculikan karena dianggap terlalu berani memprotes pemerintahan.

Bahkan kesaksian Pius mampu membuat dunia internasional mendesak Pemerintah Indonesia melepaskan aktivis mahasiswa yang diculik.

Penculikan Pius tidak bisa dilepaskan dari aktivitasnya yang menjadi penggerak Aldera serta dukungannya terhadap Megawati Soekarnoputri sebagai pengganti Soeharto. Rupanya aktivitas Pius ini tercium oleh penguasa Orde Baru. Maka, pada 2 Februari 1998, ketika berencana bertemu kawannya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Pius dibawa oleh orang tidak dikenal sambil ditodong pistol.

Pius menceritakan bahwa ia dibawa ke suatu tempat yang tidak ia ketahui. Di tempat tersebut, Pius mendapatkan setruman, pukulan, dan tendangan di sekujur tubuhnya. Bahkan, ia diminta tidur di atas balok es. Pius diinterogasi atas aktivitasnya di Aldera sambil dipaksa menyebutkan siapa saja kawan-kawannya yang terlibat bersamanya. Namun, Pius hanya bungkam untuk melindungi kawan-kawannya agar tidak bernasib serupa dengannya.

Setelah 58 hari Pius dibekap serta dibayangi ketidakpastian antara hidup dan mati, ia dilepaskan pada 2 April 1998. Sebelum dilepaskan, Pius diminta tidak menceritakan penculikannya dan tidak lagi melakukan aktivitas yang meresahkan pemerintahan. Pius pun kemudian diantarkan pulang menuju Palembang, ke rumah ibunya.

Mendengar Pius telah kembali dari penculikan, rekan-rekan di Aldera dan para aktivis meminta Pius mengungkap kejahatan Orde Baru yang menimpa dirinya. Awalnya, Pius ragu karena keselamatannya terancam. Namun, akhirnya, ia menyampaikan keterangan di Komnas HAM pada 27 April 1998. Pius pun meloloskan diri ke luar negeri untuk berlindung dan bercerita kepada dunia internasional tentang kejahatan Orde Baru.

Aldera
Keberanian Pius menceritakan pengalamannya selama diculik tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Aldera yang sudah ia rintis sebagai organisasi yang cukup bernyali pada masanya. Apalagi saat itu Aldera lahir di saat dunia pergerakan mahasiswa dimatikan oleh pemerintahan.

Sejak peristiwa Malari 1974, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membubarkan semua organisasi politik mahasiswa dan Dewan Mahasiswa. Sebagai gantinya, tahun 1978 dibentuk konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan atau dikenal sebagai NKK/BKK. Tentara juga diperbolehkan memasuki kampus untuk membubarkan mimbar bebas mahasiswa yang kerap mengkritik pemerintah.

Kebijakan tersebut membuat gerakan mahasiswa sempat mati suri. Namun, benih-benih kekritisan mahasiswa terhadap Orde Baru tetap dipupuk melalui kelompok studi rahasia. Dalam kelompok itu, mereka mempelajari konsep pergerakan dan ideologi untuk melawan kapitalisme. Selain itu juga muncul pers mahasiswa sebagai salah satu media alternatif di saat media nasional lebih berpihak kepada Orde Baru.

Memasuki pertengahan tahun 1980-an dan awal 1990-an, pergerakan mahasiswa terpecah menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral adalah kelompok mahasiswa yang mengedepankan akademis dan tidak mau bergabung dengan kelompok masyarakat di luar kampus. Sementara gerakan politik menitikberatkan pada penyatuan diri antara mahasiswa dan rakyat kecil.

Berawal dari gerakan politik mahasiswa inilah Aldera lahir. Aldera membantu melakukan advokasi bagi masyarakat. Masyarakat kecil acapkali mengalami ketidakadilan terutama karena lahannya digusur oleh pihak pengembang yang didukung oleh pemerintah.

Nilai-nilai tersebut mengilhami Pius bersama dengan mahasiswa yang mayoritas dari Universitas Parahyangan Bandung membentuk Aldera tahun 1994. Sejak itu, Aldera selalu menjadi organisasi politik mahasiswa yang bersuara untuk menghapuskan kemiskinan di Indonesia dan perlunya mengganti Presiden Soeharto yang dianggap telah gagal. Aldera memperlihatkan diri bahwa anak muda mampu memberikan perubahan besar bagi Indonesia. (rul/*

News Feed