OLEH: Wahyuddin, Staf Pengajar FIB Unhas / Peneliti di laboratorium Mediation ; Science de lieux, science de liens. Prancis
Setelah diwarnai dengan beragam dinamika dalam realisasinya terutama adanya konflik pembebasan lahan selama kurun waktu beberapa tahun, masyarakat sulsel patut berbahagia karena akhirnya kereta api di wilayah kita ini telah mampu beroperasi. Rute pertama sepanjang 66 km dengan 7 stasiun yang terbentang antara kabupaten Pangkep dan Barru. Bagaimana kita harusnya menanggapi hal ini?
Kereta api sebagai simbol
Tentu saja dengan rute kereta yang masih pendek seperti itu, kita akan cenderung untuk berfikir bahwa proyek kereta api ini masih bersifat simbolik. Dalam artian bahwa ideal pembangunan infrastruktur yang dimaksudkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat masih sulit dibayangkan terjadi. Kontribusi ekonomi dari pergerakan orang dan barang melalui kereta api dengan rute pendek ini masih seperti utopia. Jalur jalan raya yang melintas di sepanjang rel kereta tersebut sebenarnya masih jauh dari kesan padat yang dapat menghambat arus mobilitas orang dan barang, sehingga ada kesan bahwa gelontoran dana pembangunan proyek ini bukan pertama-tama muncul dari analisa ekonomi yang mendalam. Karena itulah, operasional kereta api ini dibaca masih bersifat simbolik. Tapi yang simbolik tidaklah lantas bermakna buruk. Kita butuh simbol untuk kebanggaan tapi sekaligus panduan arah pembangunan di masa depan.
Mengapa disebut bersifat simbolik. Pertama ia menjadi simbol pemerataan pembangunan infrastruktur. Di pulau Jawa dan Sumatra, kereta api telah berfungsi pada era pemerintah kolonial melalui perusahaan negara Belanda Staatsspoorwegen (SS) dan perusahaan swasta Belanda Spoorweg Maatschappij (SM) di akhir abad ke-19. Berjarak ratusan tahun, hal yang sama baru terealisasi di pulau Sulawesi di paruh pertama abad ke-21. Namun, perlu diketahui bahwa inisiatif pembangunan kereta api di Sulawesi telah dilakukan pemerintah Belanda di awal abad ke-20 dengan merintis pembangunan rel kereta api rute Pasar ButungβTakalar. Selain itu, infrastruktur kereta api Sulawesi menjadi simbol modernisasi wilayah. Bagaimanapun di negara-negara maju, kereta api menjadi salah satu tulang punggung transportasi publik. Lalu secara politik, operasioanl kereta api ini juga dapat dibaca sebagai simbol penunaian janji politik pemerintah Jokowi untuk pemerataan infrastruktur.
Kereta api dan tuntutan perubahan budaya
Di luar itu, kereta api bukan sekadar infrastruktur tapi juga tantangan perubahan budaya. Berbeda dengan budaya pete-pete yang bebas menurunkan dan menaikkan penumpang di area mana saja, kereta api berhenti dan berangkat di satu titik dan waktu yang telah terjadwal. Artinya butuh mengubah kultur yang terkait dengan waktu dan budaya jalan kaki kita. Dua kultur yang telah coba dibangun melalui operasional bis Trans Mamminasata oleh pemerintah kota Makassar. Tidak mudah mengubah kebiasaan masyarakat yang telah terbiasa dengan sistem transportasi yang tidak mengenal waktu secara ketat dan bebas untuk berhenti di mana saja penumpang kehendaki.
Kultur baru harus dikondisikan oleh lingkungan. Determinasi lingkungan diyakini akan mampu mengubah sebuah kultur. Untuk mendukung terciptanya budaya jalan kaki misalnya, perlu ada sebuah horizon bagi pembuat kebijakan untuk memikirkan ruang pedestrian pinggir jalan yang bersih, rindang, dan nyaman. Mungkin dengan cara ini, masyarakat bisa diajak untuk menggalakkan budaya jalan kaki untuk rute-rute pendek tanpa perlu menggunakan kendaraan bermotor yang jelas tak ramah bagi lingkungan. Apa yang hendak dikatakan di sini adalah, operasionalisai transportasi modern pada saat yang sama memerlukan sebuah adaptasi budaya dimana pemerintah harus mendukung transisi kebudayaan tersebut dengan kebijakan publik yang tepat.
Tantangan kereta api Sulawesi di masa depan
Namun kita mahfum bahwa di negara kita, sebuah kebijakan publik berkelindan kuat dengan kepentingan politik. Pergantian pemerintah membuka kemungkinan perubahan kebijakan publik meskipun itu sudah dianggap baik. Disinilah kita membutuhkan sebuah kontinuitas jangka panjang terkait eksistensi kereta api di Sulsel. Pada dasarnya, efektivitas penggunaan transportasi massal seperti kereta api hanya terwujud jika mampu membuat koneksi wilayah yang berjarak jauh dalam waktu yang sesingkat mungkin. Karena itulah dengan jarak hanya 66 km di awal, kita menganggapnya masih dalam tahap simbolik. Bahkan juga ketika beberapa bulan ke depan jumlah kilometernya akan bertambah dengan rampungnya rute arah kabupaten Maros. Sejatinya fungsi kereta api ini akan secara sungguh-sungguh terealisasi jika mampu menghubungkan wilayah lintas Sulawesi layaknya kereta api di pulau Jawa yang menghubungkan bagian timur dan barat pulau tersebut. Persis disinilah tantangan masa depannya. Perubahan kepemimpinan nasional akankah mengubah cara pandang mengenai eksistensi moda transportasi ini? (*)