OLEH: Aswar Hasan, Dosen di Unhas
Tragedi di stadion Kanjuruhan telah menelan korban 134 nyawa. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang menemukan adanya kelalaian PSSI atas penggunaan stadion yang terindikasi tak layak karena memiliki risiko tinggi ditolak PSSI. Bahkan, PSSI pun menyuguhkan tindakan yang tak berempati pada korban ratusan nyawa di Stadion Kanjuruhan tersebut, dengan menyelenggarakan Fun Football dengan riang gembira, bersama Presiden FIFA, Gianni Infantino. Sebuah aksi yang sama sekali tidak menunjukkan rasa empati di tengah duka yang mendalam atas dunia sepak bola kita.
Belum reda duka atas melayangnya 134 nyawa di Kanjuruhan, bangsa ini kembali didera duka dengan melayangnya 133 nyawa anak-anak akibat mengomsumsi obat sirop yang beredar resmi di pasaran.
Kematian tragis 133 anak-anak itu, disebabkan gagal ginjal akut progressif Atipikal atau acute kidney injury (AKI). Setelah ditelusuri pemicu gagal ginjal akut tersebut, ditemukan pemicunya karena mengomsumsi Obat Sirop yang dibeli di toko obat dan apotek.
Menurut Penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdasarkan sampel pada obat sirop yang beredar di pasaran dan dikonsumsi oleh anak yang teridap ginjal, ditemukan senyawa yang berpotensi menyebabkan gagal ginjal akut pada anak. Temuan itu berasal dari 4 sampel obat cair yang diteliti bersama Kementerian Kesehatan.
Hasil penelitiannya menunjukkan kebanyakan obat sirop tersebut, mengandung Etilen Glokol dan Dietilen Glokol yang merupakan senyawa yang menjadi pemicu lonjakan jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak di Gambia, Aptika Barat (Tempo, 20/10-2022). Dengan demikian, kasus serupa sudah pernah terjadi di Aprika, namun tidak dijadikan pelajaran bagi negara ini, sehingga terjadi pengulangannya di negeri ini.
Epidemolog dari Universitas Griffit Australia, Dicky Budiman menilai kasus gagal ginjal akut pada anak kali ini sudah masuk kejadian luar biasa, apalagi tingkat kematian nya sudah cukup tinggi (mencapai 65 %).
Tingginya tingkat kematian itu, kata Dicky bisa disebabkan oleh minimnya deteksi dini yang dilakukan pemerintah. Akibatnya, saat kasus terlacak, kondisi sudah parah (Tempo, 20/10-2022). Publik pun hanya mengeluh; nasi sudah jadi bubur. Anak-anak Indonesia telah meninggal. Pasti karena adanya kelalaian yang tidak dicegah oleh negara secara serius.
Usut Tuntas
Lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas musibah tersebut? Tentu harus ada yang bertanggung jawab. Beredarnya Obat Sirop yang bermasalah tersebut di pasaran secara bebas dan dikomsumsi oleh rakyat adalah sebuah keteledoran pihak terkait. Mengapa obat yang sesungguhnya bisa menjadi racun itu, bisa lolos di pasaran? Tentu pihak BPOM atau pun pihak pemerintah terkait lainnya harus bisa dimintai pertanggungjawabannya. Bahwa apakah semua jenis obat yang beredar secara sah di pasaran saat ini aman dikomsumsi oleh masyarakat? Kita sebagai warga negara tentu butuh jaminan dan perlindungan. Dan, itulah tugas pemerintah. Janganlah pemerintah baru hadir setelah ada masalah dan rakyat sudah menjadi korban.
Kasus yang menyebabkan melayangnya nyawa anak bangsa hingga seratusan itu, menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan (regulari inpection) pada aspek pre market control dan post market controll yang seharusnya dilakukan Badan POM tidak berjalan efektif, ungkap Ketua Pengurus Harian YLKI Tulis Abadi (Sindo,24/10-2022).
Olehnya itu, perlu adanya pengawasan pada tingkat produksi obat yang mengacu pada aspek Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) mengingat cemaran yang telah terjadi. Belajar dari kasus tersebut, Quality Controll di internal manajemen produsen obat sudah harus dilakukan dengan ketat.
Kasus cemaran obat sirop yang telah menelan korban itu, harus ada investigasi yang menyeluruh dan tuntas dari pihak berwajib, mulai dari hulu hingga ke hilir secara perdata dan pidana. Termasuk mengusut pihak regulator seperti BPOM dan pihak Kemenkes hingga ke operator seperti produsen farmasi dan distributornya. Semuanya yang terkait harus bisa dimintai pertanggungjawabannya.
Pelarangan Peredaran Obat Sirop berikut perintah pemusnahannya oleh Menteri Kesehatan, tidaklah cukup. Harus ada proses hukum. Harga 133 nyawa anak bangsa tidak pantas untuk dihargai secara murah! Harus ada upaya perhitungan hukum kepada pihak produsen obat sirop untuk ikut bertanggung jawab atas kematian anak Indonesia. Bila perlu, pemerintah pun (BPOM) harus siap-siap menghadapi Class Action dari masyarakat. Betapa tidak, bukankan seharusnya setiap obat yang beredar di masyarakat, harus lulus uji dahulu dari BPOM? Dan, kata para ahli hukum, βSalus Populi Supreme Lex Estoβ. Keselamatan Rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu Negara. Wallahu Aβlam Bishawwabe. (*)