OLEH: Munif Mutawalli, Mahasiswa Sastra Arab Unhas
Hauzah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang berada di Irak dan Iran dengan corak pembelajarannya ialah ilmu ilmu Islam klasik seperti, Fiqih, Ushul fiqih, Ulumul Qur’an, Ulumul hadist, Kalam, Mantiq, Filsafat, dan Tasawwuf/Irfan. Dengan tradisi keilmuan yang ketat dan melekat selama bertahun tahun lamanya, telah mencetak tokoh tokoh besar di dalam Islam dengan berbagai disiplin keilmuannya.
Kesuksesan lembaga pendidikan Islam ini tersambung dan terhubung dengan sejarah pendahulunya yang telah terlibat disetiap aspek kehidupan manusia, baik secara sosiologis yang merespon permasalahan permasalahan sosial maupun secara psikologis yang merespons segala bentuk keluhan-keluhan kamanusiaan (jiwa/ruh).
Keberhasilan yang telah dicapai dalam lembaga pendidikan ini tidak lepas dari sistem yang berlaku di dalamnya, diantaranya adalah tujuan dari Hauzah itu sendiri, dengan mencetak Mujtahid kemudian dipersiapkan untuk menjadi muballigh dan da’i untuk mengemban amanah tabligh. Juga tidak lepas daripada aktivitas para santri yang tidak hanya mengkaji ilmu teoritis berupa pahaman, tetapi juga mengamalkan apa yang telah ia pelajari berupa akhlak/etika dan spiritualitas Islam seperti, shalat, puasa, perayaan hari hari besar Islam dan lain sebagainnya.
Salah satu yang menjadi daya dobrak di Hauzah adalah Intelektual dan Spiritual. Merupakan salah satu pilar peradaban di Irak dan Iran, karena tidak terpengaruh dengan gejolak politik yang terjadi disana dan lebih fokus terhadap tuntutan keilmuan, sehingga kemurnian lembaga Islam ini terpelihara dengan baik.
Dalam perkembangannya, kemandirian dan kebebasan dalam berpikir sangat ditekankan. Hal tersebut yang membuat Dialektika tetap hidup dan daya kritis tetap berjalan, sehingga melahirkan pemikiran pemikiran inovatif.
Sikap inklusif antara guru dan murid justru mewujudkan kultur belajar yang sehat (aktif dan kondusif). Keterbukaan ini juga memberikan kesempatan kepada Murid untuk mengkritik, bertanya seluas luasnya, mengkritisi pola belajar atau materi yang diajarkan, serta mendebat gurunya jika perlu. Tradisi intelektual seperti ini sangat menarik karena tidak hanya terbatas pada materi materi baku, namun meliputi seluruh bidang keilmuan termasuk didalamnya filsafat, tasawuf, hingga perkembangan pemikiran kontemporer yang sebahagian besar dianggap tabuh untuk dikaji.
Melalui monumen intelektual inilah, sehingga hidup pemikir pemikir besar seperti “…Allamah Hilli, Allamah Majlis, Syahid Awal (penulis kitab fikih klasik “al-Lum’ah ad- Dimasyqiyah”) dan Syahid Tsani (penulis “ar-Raudhah al-Bahiyah fi Syarh al-Lum’ah ad-Dimasyqiyah”), Syekh Thusi, Sayed Murtadha, Syaikh Anshari, dan ulama besar Najaf dan Qom, Almarhum Syaikh Abdul Karim Haeri, Almarhum Sayed Borujordi dan yang lainnya…” yang merupakan Ungkapan dari Grand Ayatullah Sayed Ali Khamenei).
Setelah pendahulunya, juga terdapat pemikir pemikir kontemporer seperti syahid Muthahari, syahid Baqir Shadr, serta imam Khomeini yang nantinya unjuk diri di podium podium praktis (sosial dan politik) dengan menelurkan gerakan revolusi Islam Iran. Hal tersebut merupakan pencapaian besar di dunia Islam yang digagas oleh ulama besar cetakan Hauzah Ilmiah. Disamping keterlibatannya pada jihad praktis, juga terlibat pada jihad teoritis dengan cara memberikan komentar serta kritik terhadap beragam sikap, wacana atau pandangan dunia, serta tidak lupa untuk memberikan pandangan yang solutif dan visioner terhadap perkembangan zaman.
Dengan adanya gerakan tersebut merupakan salah satu bukti bahwa Hauzah Ilmiah tidak hanya menekankan pada aspek pemahaman tetapi juga menitikberatkan pada aspek pengamalan (Amaliah). (*)