OLEH: AIDIR AMIN DAUD
Tim Gabungan Independen Pencarian Fakta (TGIPF) Peristiwa Stadion Kanjuruhan – Jumat pekan lalu sudah menyerahkan laporannya ke Presiden Jokowi. Salah satu isi rekomendasi yang cukup penting: meminta Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan dan para anggota Exco diminta mundur.
Dalam rekomendasi disebutkan, secara normatif, pemerintah tidak bisa mengintervensi PSSI. Namun, dalam negara yang memiliki dasar moral dan etik serta budaya adiluhung, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban sebanyak 712 orang. Seperti yang dituliskan dalam laporan: korban meninggal dunia sudah mencapai 132, 96 orang luka berat, 484 orang luka sedang/ringan yang sebagian bisa saja mengalami dampak jangka panjang.
Sampai Minggu kemarin belum ada tanggapan resmi dan terbuka dari Ketua Umum PSSI dan jajarannya terkait rekomendasi ini. TGIPF menyatakan mengapresiasi langkah Pimpinan Polri yang telah menjawab harapan masyarakat dengan melakukan proses pidana dan tindakan administrasi dengan melakukan demosi sejumlah pejabat. Namun TGIPF meminta Polri dan TNI perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap aparat Polri dan TNI serta pihak-pihak yang melakukan tindakan berlebihan pada kerusuhan pasca pertandingan Arema vs Persebaya — seperti yang menyediakan gas air mata, menembakkan gas air mata ke arah penonton (tribun) yang diduga dilakukan di luar komando.
**
Angka kematian yang mencapai angka 132 orang — jelas bukan jumlah yang kecil. Adalah menjadi sesuatu yang tidak wajar — jika tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab penuh dan meletakkan jabatannya serta menyatakan siap memikul semua risiko hukum yang ada. Saking tidak adanya pihak yang menyatakan bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan — maka kartun Majalah Tempo Minggu 9 Oktober yang dibuat Hari Pras dengan sinisnya — menggambarkan ‘pintu stadion’ dan ‘tangga stadion’ sebagai calon tersangka.
Kita bersyukur para anggota TGIPF terus berbicara lantang di media, soal siapa yang harus bertanggung jawab. Berbicara soal apa yang menjadi penyebab utama sehingga ada kematian massal yang begitu mengenaskan. Anggota TGIPF Rhenald Kasali menegaskan, tembakkan gas air mata oleh personel Polri kepada Aremania bersifat mematikan.
Menurut Rhenald Kasali, penggunaan senjata gas air mata oleh kepolisian pada dasarnya untuk meredam agresivitas massa, bukan senjata yang bersifat mematikan. Akan tetapi, penggunaan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, menurut Rhenald nampak berbeda. “Jadi (gas air mata) bukan senjata untuk mematikan tapi senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi (di Kanjuruhan) adalah justru mematikan,” kata Rhenald Kasali.
**
Ada pandangan yang lebih substansial dari Rhenald. Rhenald mengingatkan bahwa posisi kepolisian saat ini bukanlah sebagai kepolisian yang berbasis militer, tetapi berbasis kepolisian sipil. Kita berharap penanganan aksi apapun — sepanjang dilakukan oleh kelompok sipil yang tidak bersenjata — hendaknya dilakukan dengan lebih manusiawi dan berbasis pada HAM.
Sebagaimana yang disampaikan Menko Polkam Mahfud MD — hendaknya prinsip Salus populi suprema lex esto — menyelamatkan kepentingan publik/ keselamatan rakyat — selalu menjadi pegangan pejabat dan aparat yang terkait dengan orang banyak. Prinsip ini sesungguhnya sudah menjadi nilai moral dan etika yang sudah menjadi tatanan budaya bangsa ini. *