English English Indonesian Indonesian
oleh

Perlunya Perda Aksara Lontaraq

OLEH RUSDIN TOMPO, Koordinator Perkumpulan Penulis SATUPENA Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan, di bulan Oktober 2022 ini, genap berusia 353 tahun. Menariknya, logo maupun tema HUT “Sulsel Optimis, Tangguh, dan Ekonomi Berdaulat”, ditulis dengan karakter aksara Lontaraq.

Ada sejumlah keistimewaan dan makna filosofis sebagai simbol yang hendak disampaikan kepada publik. Kabid Humas dan IKG, Diskominfo-SP Sulsel, Sultan Rakib (Fajar, 2/10/2022), menjelaskan bahwa rangkaian angka yang membentuk sulapa appa, dihubungkan dengan empat titik, menggambarkan ketangguhan dan kekokohan yang berakar pada kekuatan empat etnis: Bugis, Makassar, Mandar, Toraja.

Angka “3” yang meniru model Lontaraq, menyimbolkan geopark Maros-Pangkep, yang telah ditetapkan Unesco sebagai Unesco Global Geopark (UGGp). Angka “5” terinspirasi dari layar Pinisi, melambangkan ketangguhan. Sedangkan angka “3” yang kedua, merupakan gestur penari adat ketika menyambut tetamu. Selanjutnya, tulisan Sulsel dari huruf Lontaraq dengan titik merah dan orange, menggambarkan provinsi ini sebagai lumbung pangan nasional, dengan optimisme dan percaya diri sebagai daerah yang mandiri dan penopang sejumlah provinsi lain di Indonesia.

Lambang Kemajuan Peradaban

Peran Sulawesi Selatan sejak dahulu memang telah diakui. Jauh sebelum Indonesia mewujud sebagai satu negara, ketika masa kerajaan-kerajaan Nusantara, daerah ini sudah berkontribusi dan memainkan peran strategis. Ada banyak dokumentasi dan catatan yang ditulis dalam aksara Lontaraq membuktikan hal itu. Misalnya, hukum pelayaran dan perniagaan yang dihimpun La Patello’ Amanna Gappa, tahun 1676, seorang Matoa asal Wajo. Sejak Abad XV, pelaut-pelaut Bugis dan Makassar juga sudah menjelajah luasnya samudra, menyisir Semenanjung Malaka, Kerajaan Campa (Vietnam), ke benua Australia, hingga Madagaskar.

Dalam epos La Galigo, karakter orang Sulawesi Selatan yang berjiwa maritim tergambarkan dalam kisah pelayaran Sawerigading ke Cina. Karya sastra terpanjang di dunia, yang ditulis dengan aksara Lontaraq itu, merupakan The World Heritage, yang sudah ditetapkan sebagai Memory of the World oleh Unesco, pada tahun 2011. Begitupun dengan Lontaraq bilang yang berisi catatan-catatan Kerajaan Gowa-Tallo, mulai pertengahan Abad XVI-XVIII. Catatan-catatan yang diperkirakan ditulis oleh Daeng Pamatte, seorang sabannara’ (syahbandar), di masa Raja Gowa IX, Tumapa’risi’ Kalonna (1512-1546) itu, antara lain berisi sejarah, kapal, adat-istiadat dan alat-alat pertanian.

Lewat aksara Lontaraq, pewarisan nilai-nilai dan kearifan budaya dilakukan. Aksara Lontaraq memang kaya dengan muatan literasi dan kandungan khazanah ilmu pengetahuan. Jika merujuk pada kajian dan teori-teori tentang aksara, bahasa, dan penemuan tulisan, maka tidak berlebihan apabila aksara Lontaraq kita sebut sebagai lambang kemajuan peradaban masyarakat Sulawesi Selatan.

Mengkonversi Kebanggaan

Mengingat tidak semua bangsa-bangsa di dunia memiliki aksaranya sendiri maka kita tidak bisa hanya sekadar berbangga, tetapi bagaimana mengonversi kebanggaan atas aksara Lontaraq itu dalam wujud yang lebih konkret. Sudah saatnya aksara Lontaraq yang merupakan kekayaan dan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan, diformalkan menjadi suatu Peraturan Daerah (Perda). Apalagi, aksara ini sudah ada di platform digital dan digunakan untuk keperluan industri kreatif.  Tujuannya, Perda agar aksara Lontaraq lebih terlindungi melalui upaya-upaya pelestarian yang terstruktur, terkoordinasi dan terintegrasi. Dengan Perda berarti kita juga punya pedoman dan dasar hukum yang kuat. Pemanfaatan aksara Lontaraq yang secara sosiologis sudah digunakan untuk berbagai kebutuhan, perlu dilakukan lebih tertib lagi dengan membakukan penulisannya. Misalnya, kata “Lontaraq”, apakah ditulis seperti yang ada dalam artikel ini, atau menggunakan huruf “k” (Lontarak), apostrof (’) (Lontara’), atau cukup ditulis “Lontara” saja. Persoalan perlunya harmonisasi dan penyelarasan baru satu hal, belum lagi yang berkaitan dengan pembelajaran muatan lokal, penulisan nama instansi dan layanan publik, serta papan informasi yang belum secara konsisten menggunakan aksara Lontaraq.

Kehadiran Perda Aksara Lontaraq dapat merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Objek pemajuan kebudayaan, menurut UU itu, meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Fungsi Perda Aksara Lontaraq tentu bukan hanya sebagai sarana untuk menampung kondisi khusus daerah. Lebih dari itu, sebagai fungsi rekayasa sosial yang memiliki esensi dan korelasi dengan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi warga, serta daya saing daerah. Roh dan pemaknaan pentingnya Perda Aksara Lontaraq, sudah dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, melalui penggunaan karakter aksara lontaraq pada logo dan penulisan tema HUT ke-353. Tinggal bagaimana memformalkannya sebagai suatu produk legislasi daerah, dan diejawantahkan kemudian secara konsisten. (*)

News Feed