OLEH: Muhammad Rhesa, S.Psi., M.A, Dosen Psikologi Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan UNM
Duka mendalam tengah menyelimuti dunia sepak bola tanah air atas meninggalnya ratusan suporter sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Hal tersebut sebagai dampak atas kericuhan yang terjadi pada laga keseblasan antara Arema Malang melawan Persebaya Surabaya pada tanggal 1 Oktober 2022 malam. Kasus ini masuk dalam tiga besar dunia dengan jumlah korban meninggal terbanyak karena laga di stadion sepak bola. Ghana yang awalnya berada di posisi kedua dengan jumlah korban meninggal 126 orang, akhirnya digeser oleh Indonesia dengan jumlah korban 129. Posisi pertama dipegang oleh Peru dengan jumlah korban meninggal sebanyak 328 orang pada tahun 1964.
Di tengah kegemilangan pencapaian Timnas Indonesia baik senior maupun junior, kita memang harus menelan satu pil pahit ini (baca: tragedi). Rivalitas suporter Arema Malang dengan Persebaya Surabaya yang telah berlangsung lama kali ini bukan hanya berdampak pada dua klub ini saja, tetapi juga pada klub lain yang ada di Liga Satu. Bukan hal mustahil jika sepak bola Indonesia secara keseluruhan mendapatkan sanksi dari FIFA. Sementara presiden Jokowi sendiri melalui pidato khususnya telah menginstruksikan untuk menghentikan sementara jalannya laga Liga Satu ini sampai semua pihak telah dievaluasi.
Jika melakukan βzoom inβ pada laga derby ini, maka bisa kita lihat faktor psikologis sebagai latar utama kejadian. Fanatisme ekstrem pada klub sepak bola, sejarah rivalitas kedua klub, serta frustasi agresi bisa menjelaskan mengapa peristiwa ini terjadi.
Terbentuknya fanatisme ekstrem ini karena adanya identitas kelompok yang diciptakan bersama sebagai kelompok suporter. Person-person yang sebenarnya memiliki perbedaan latar belakang sosial, perbedaan karakter, bahkan perbedaan cara bertindak akan melebur menjadi satu dan seolah seragam ketika telah bergabung ke dalam satu kelompok suporter.
Proses inilah yang disebut dengan deindividuasi. Orang akan menihilkan penolakan atau ketidaksetujuannya secara personal dengan perilaku kelompok agar tetap dianggap dan menjadi bagian dari kelompok yang dicintainya. Ini karena kelompok suporter menjadi media untuk meningkatkan harga diri, kelompok adalah cara untuk mendapatkan perlindungan sekaligus menjadi media untuk melakukan perlawanan bersama.
Pengambilan keputusan di dalam kelompok akan mewujud menjadi sikap dan perilaku yang seragam oleh semua anggota kelompok (groupthink). Kondisi ini menjelaskan mengapa perilaku orang-orang yang tergabung sebagai suporter secara bersama-sama kemudian melakukan penyerangan terhadap aparat, tim, dan official yang ada di lokasi kejadian.
Rivalitas antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya juga telah berlangsung selama puluhan tahun. Meski berasal dari provinsi yang sama, Jawa Timur, namun kesamaan provinsi tersebut justru membuat mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk bergesekan. Terjadinya gesekan-gesekan ini akan mengentalkan rasa cinta terhadap kelompok sendiri sekaligus pada waktu yang bersamaan juga menimbulkan rasa benci terhadap kelompok lawan.
Berbagai fakta menunjukkan, ruang-ruang publik yang ada di Jawa Timur kerap kali menjadi ajang bagi kedua kelompok suporter ini untuk saling bergesekan. Saat identitas suporter misalnya lambang, warna, dan berbagai ciri khas kelompok disertakan ke ruang publik, maka seketika sinyal permusuhan juga muncul. Aksi-aksi kecil akhirnya menjadi gesekan antar kelompok yang mengentalkan permusuhan.
Berikutnya terkait frustasi agresi. Agresi berupa tindakan, baik perilaku maupun verbal yang dilakukan oleh orang maupun kelompok dengan tujuan menyakiti pihak lain. Agresi dapat berupa kekerasan fisik, dapat pula berupa pengrusakan hal-hal yang dianggap berubungan dengan pihak yang ingin disakiti.
Hal utama yang dapat memunculkan agresi ini adalah rasa frustasi. Rasa frustasi bisa muncul karena keinginan yang ingin dicapai menjadi gagal karena adanya penghambat dari faktor eksternal.
Jika melihat peristiwa, bisa dianalisa bahwa tindakan agresi ke dalam lapangan yang dilakukan oleh Aremania dilatari oleh rasa frustasi. Frustasi karena keinginan agar Arema memenangi pertandingan menjadi gagal dan dipersepsi bahwa Persebaya menjadi penghambat kemenangan tersebut. Frustasi makin menjadi-jadi karena kekalahan dialami di kandang sendiri, yang secara psikologis merupakan teritori kekuasaan suporter Arema. Agresi atau penyerangan ke dalam lapangan menjadi alat pelarian sementara untuk keluar dari rasa frustasi.
Faktor eksternal lain yang dapat memicu frustasi yang berujung agresi di antaranya: kesesakan (Fisher et al., 1984), suhu (Barond dan Richardson, 1994), dan keributan (Geen dan McCown, 1984). Ketiga faktor ini ditemukan di tempat kejadian. Kesesakan karena jumlah suporter yang memenuhi stadion dan terindikasi pada penjualan tiket yang melebihi kapasitas. Suhu yang panas karena gas air mata ditembakkan ke tribun meski telah sesak oleh penonton. Serta keributan yang muncul sebagai respons atas agresi yang muncul secara berentetan dari kedua pihak.
Jika menyelami lebih jauh motif pelaksanaan pertandingan ini, maka tidak fair jika melihat tragedi ini hanya dari unsur suporter saja untuk dievaluasi. Pihak yang tak kalah penting seperti Federasi PSSI, PT. LIB, pihak broadcast yang terkait dengan jam tayang, dan juga pihak keamanan, masing-masing harus mendapat poin evaluasi bahkan sanksi yang setimpal. Semua itu demi kedewasaan dan kenyamanan bersama menikmati sepak bola Indonesia ke depan.
Sebagai penutup, penulis ingin ikut mengucapkan duka cita yang mendalam atas tragedi ini dan kita semua berharap sepak bola Indonesia bisa memuncaki kasta piala dunia. Semoga!