“Ayah, ini di mana ayah?”
“Ini tribun baru kita nak. Lebih indah dari Kanjuruhan tadi. Perihnya gas air mata sudah tak terasa. Sesaknya dada kita pun sudah tak ada. Maafkan Ayahmu, Nak. Membawa kamu ke sini. Kita tunggu ibumu di sini ya…”
Seseorang memposting ini di media sosial. Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur mengagetkan semua orang yang baru bangun dari tidurnya — Minggu dini hari kemarin. Semua tayangan televisi menuliskan satu kalimat, ‘Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, 129 tewas.’ Tentu saja angka ini masih bisa bertambah karena sejumlah korban dengan status berat masih kritis di rumah sakit (angka tadi malam sudah mencapai angka 174 orang). Tragedi Kanjuruhan — pasca pertandingan antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya — langsung menjadi tragedi dengan korban terbesar kedua di dunia. Di tahun 1964 stadion nasional Peru di Ibukota Lima, terjadi kerusuhan antara suporter Argentina dan Peru. Pertandingan sepak bola dua negara pada tanggal 24 Mei 1964 — lebih dari 300 orang dinyatakan tewas.
Berbeda dengan kerusuhan di Lima Peru — kerusuhan di Kanjuruhan bukanlah keributan antar suporter, karena sejak awal Suporter Persebaya sudah dicegah dan diimbau tidak ke Malang.
***
Minggu pagi Presiden Jokowi menyampaikan pidato duka mendalamnya dan meminta segera dilakukan pengusutan tuntas tragedi itu dan meminta Liga Satu dihentikan sementara. Sepanjang hari pembahasan terkait tragedi itu mewarnai isi pembicaraan di semua media sosial dan tayangan berita televisi. Duka mendalam, kesedihan, kemarahan menyatu dan mengumpat institusi yang terkait dengan tragedi ini. Imbauan agar para pejabat terkait kerusuhan ini segera mundur — sepertinya belum menjadi tradisi bagi mereka yang sedang menjabat.
Senada dengan pandangan banyak orang — Pembina Madura Utd FC — Achsanul Qosasi — menyatakan, PSSI wajib bertanggung jawab, dan semua pengurusnya harus mundur. Sebagai respect terhadap korban dan keluarganya. Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan,
“Hak hidup ratusan orang melayang begitu saja pasca pertandingan bola, ini betul-betul tragedi kemanusiaan yang menyeramkan sekaligus memilukan. Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini harus diusut tuntas. Tentu kami menyadari bahwa aparat keamanan sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka, tapi mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan. Akuntabilitas negara benar-benar diuji dalam kasus ini. Oleh karena itu, kami mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang.”
***
Seperti kata Presiden Jokowi tragedi ini tak boleh lagi terjadi di masa datang. Prosedur pengamanan setiap stadion harus dievaluasi kembali. Bagaimana mengatasi penonton yang masuk lapangan. Bagaimana memikirkan pintu-pintu yang lebih cepat mengalirkan penonton keluar stadion. Bagaimana menyelamatkan kedua tim dari kerusuhan. Dan paling penting, bagaimana pengamanan bisa menghindarkan penonton termasuk suporter dari akibat-akibat yang fatal terutama kehilangan nyawa.
Simulasi situasi terburuk pada setiap pertandingan harus dipikirkan. Terutama jika tim tuan rumah dengan suporter yang amat fanatik harus menderita kekalahan. Termasuk bagaimana mencegah kerusuhan berlanjut di tengah keramaian kota. Saatnya, simulasi dan jalan keluar atas semua masalah direncanakan dengan lebih baik. Plan A, Plan B dan Plan C harus sudah dipahami semua aparat pengamanan dan mereka yang terkait. Kita kirimkan doa dan Alfatihah untuk semua korban di Kanjuruhan. ***