English English Indonesian Indonesian
oleh

Mahkamah Agung yang Tak Lagi Agung

OLEH: Firmansyah, M.H, Ketua LPPM Institut Teknologi Amanna Gappa/Dosen Hukum UNM

Catatan kelam kembali terukir di tiang-tiang yang notabenenya merupakan tempat terakhir untuk mencari keadilan.

Mengapa tidak, dalam sejarah Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas kasus suap pengondisian perkara, baru kali ini hakim Mahkamah Agung menjadi salah satu tersangka OTT. Mungkin tidaklah terlalu prematur untuk membahas kasus ini mengingat selain telah cukup bukti untuk ditetapkan tersangka disisi lain penulis cukup geram melihat bagaimana perangai penegak hukum saat ini apalagi jika kita bicara soal penegakan hukum yang tak egaliter, layaknya apa yang disabdakan oleh filsuf Yunani Anarchasis bahwa hukum seringkali berlaku sebagai sarang laba-laba yang hanya menangkap.

“Mahkamah Agung” nama yang sakral tapi tak dibuat masuk akal, dapat dibayangkan nama mahkamah sebagai tempat mengadili dan memutuskan suatu perkara demi mendapatkan keadilan yang kemudian disematkan kata Agung yang bermakna besar dan mulia, betapa sucinya nama yang kini terkontaminasi oleh segelintir pedagang yang berkedok penegak hukum. Idealnya sebagai lembaga pemutus hukum tertinggi keputusan-keputusan mahkamah agung memiliki arti dan kedudukan tersendiri, sebab menjadi pedoman bagi pengadilan-pengadilan yang lebih rendah, maka sejatinya putusan Mahkamah Agung benar-benar merupakan putusan yang mencerminkan keadilan dan tidak tercela.

Faktanya sukar untuk menyatakan bahwa lembaga peradilan telah memenuhi hasrat keadilan. Bagaimana kemudian lembaga yang menjadi sumber distribusi peraturan, putusan-putusan, bagi pengadilan di bawahnya dan benteng terakhir bagi pencari keadilan menjadi tempat transaksi, dapat dibayangkan seperti apa gelapnya ruangan itu.

Dalam kondisi yang berbeda, ada rasa malu yang luar biasa sebagai pengajar hukum di setiap awal perkuliahan bagi mahasiswa hukum semester awal selalu kami sampaikan bahwa “kalian patut berbangga menjadi mahasiswa hukum karena keadilan di masa depan, ada di tangan kalian semua”. Saya baru sadar kalau selama ini saya hanyalah membual dihadapan mahasiswa yang masih polos jika melihat realitas saat ini yang terjadi.

Asas Peradilan Sekadar Semboyan

Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan ibarat jimat penglaris penarik konsumen. Di setiap pintu masuk gedung pengadilan asas tersebut terpampang kokoh, mata akan tertuju saat memasuki ruang tersebut. hari ini kami baru sadar bahwa mantra itu berjalan sebagaimana mestinya. Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan hanyalah pemancing konsumen untuk berperkara, selanjutnya mari dibicarakan lebih lanjut di ruang berbisik agar tak banyak yang berisik. Yang katanya sederhana bisa menjadi begitu runyam, yang katanya cepat bisa menjadi sangat lambat bahkan amat sangat lambat dengan tujuan agar biaya ringan bisa menjadi tak ringan, perkara dapat dikondiskan hanya dengan kedipan mata uang yang berlinang.

Asas peradilan sepatutnya menjadi pondasi dalam menjalankan norma-norma hukum, bukan sekadar sebagai semboyan belaka untuk mempoles nampak luarnya saja demi institution branding, sudah terlalu pelik persoalan hukum di negeri ini, sudah terlalu usang pula cara para pelaku korupsi (suap) dalam melakukan transaksi perkara, maka ada baiknya jika mereka memperbaharui cara-cara suap yang tidak dapat terdeteksi oleh KPK.

Matinya moralitas

Menurut Soerjono Soekanto, salah satu faktor yang memengaruhi penegakan hukum diantaranya adalah penegak hukum itu sendiri. Becermin dari kasus gratifikasi hakim Mahkamah aAgung ini, bagaimana perangai dari para penegak hukum, tidak begitu mengejutkan bahwa praktik gratifikasi ini dilakukan secara sistematis, dari PNS Mahkamah Agung, panitera Mahkamah Agung, hakim Mahkamah Agung hingga pengacara. Semuanya merupakan penegak hukum. Agak heran sebenarnya mengapa praktik seperti ini begitu langgeng dalam dunia peradilan, padahal sudah banyak contoh kasus yang serupa terjadi hanya pelakon nya saja yang berbeda.

Dilihat dari sistem pengawasan, Mahkamah Agung ataupun Komisi Yudisial telah melakukan pengawasan secara internal dan eksternal, namun sifatnya yang pasif menunggu laporan, disisi lain memeriksa hakim perlu dilakukan pembuktian yang cukup signifikan. Dalam hal gaji dan kesejahteraan, aparat pengadilan sebenarnya sudah mendapatkan gaji yang sangat signifikan semenjak tahun 2013 hal ini dilakukan bertujuan menurunkan angka gratifikasi dalam peradilan. Maka dapat dipastikan dunia peradilan saat ini sedang mengalami krisis integritas dan moralitas. Sebaik apapun model pengawasan akan ada selalu celah, sebesar apapun gaji yang didapatkan akan selalu kurang jika integritas dan moralitas para penegak hukum mengalami pembusukan. Tidak heran jika Mahkamah Agung yang menjadi mercusuar bagi lembaga peradilan lainnya menjadi tak agung lagi. (*)

News Feed