Oleh: Aswar Hasan, Dosen Fisip Unhas
Ada yang menarik dan penting untuk dipermaklumkan dan diketahui dari Wahdah Islamiyah (WI), bagi segenap Ormas Pendidikan Islam se Indonesia, khususnya tentang stigma dan stereotype perjuangan Islam yang kerap tak luput dari sangkaan dan tudingan yang terkait dengan jaringan gerakan terorisme, ekstremisme yang radikal karena anti kebangsaan dan konstitusi dalam bingkai NKRI.
Betapa tidak di Indonesia sendiri, menurut hasil investgasi intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada sekitar 198 pesantren di Indonesia yang diduga terkait jaringan terorisme. BNPT RI tersebut, membeberkan 198 yang terafiliasi dengan sejumlah jaringan teroris tersebut, tersebar di seluruh Indonesia.
Direktur Pencegahan BNPT RI, Brigjen Ahmad Nurwakhid menyatakan, bahwa penilaian itu dilakukan berdasarkan sejumlah indikator berkaitan radikalisme suatu kelompok, antara lain bisa jadi terafiliasi secara ideologi, Kedua, bisa jadi mereka terafiliasi memang ada kolaborasi, ada koneksi ataupun kerja sama antara mereka,” kata Nurwakhid ( CNN Indonesia.com, 28/1-2022).
Dalam pada itu, Wahdah Islamiyah (WI) dengan menggandeng STIBA (Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab) yang didirikannya, menyelenggarakan dialog kebangsaan di bulan Agustus tahun ini, untuk menunjukkan komitmennya yang tercermin dalam tema dialog: “Dengan Takwa dan Komitmen Pada Konstitusi Kita Wujudkan NKRI Jaya dan Harmoni”. Tema tersebut mengandung variabel yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, khususnya tentang taqwa, konstitusi, dan NKRI, sehingga sangat diapresiasi oleh Menkopolhukam, Prof. Mahfud, MD, yang hadir secara khusus sebagai Key Note Speaker.
Menurut Menkopolhukam Mahfud, Organisasi Islam Wahdah Islamiyah (WI), dalam kaitannya dengan desas desus adanya data intelijen tentang pesantren atau pun Ormas Islam yang terkait jaringan terorisme di Indonesia dan dunia, Wahdah Islamiyah (WI) dinyataakan Clear dan Clean. Hal itu dibuktikan berdasarkan hasil klarifikasi oleh Prof. Mahfud sendiri, selaku Menkopolhukam kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan. Menurut identifikasi BIN, Ormas Wahdah Islamiyah (WI) adalah Ormas yang berazas kebangsaan dan menyatakan kesetiaannya pada komitmen NKRI. Dalam kaitan itulah Mahfud MD menyatakan kesediaan dan kesungguhan untuk hadir dalam rangka mensolidkan komitmen Wahdah tersebut.
Gayung pun bersambut, ketika Ketua STIBA Ustadz DR. Ahmad Hanafi Dg Yunta, Lc, dalam sambutannya, menyatakan, bahwa antara pilar kebangsaan dan pilar keagamaan tidak bisa dipisahkan. Bahkan mengkonstantir keprihatinan adanya upaya mereduksi nilai kebangsaan dan keberagamaan yang seharusnya dijaga sebagai nilai kebersamaan. Kedua pilar itu bahkan seharusnya juga dijadikan asas fundamen kita dalam berbangsa. Betapa tidak, ulama dan pemerintah merupakan pilar utama dalam menjaga ketentraman masyarakat.
Hal itu pun makin diperjelas dan dipertegas oleh Ketua Umum Wahdah Islamiyah, KH. DR. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, MA, yang menyatakan bahwa WI senantiasa menjadikan Ilmu dalam landasan Dakwahnya dan tak lepas dari wawasan kebangsaan sebagai warga Indonesia yang berkomitmen pada konstitusi dalam bingkai NKRI. Dengan demikian, tidak perlu diragukan lagi, bahwa WI adalah aset bagi bangsa Indonesia dalam NKRI yang harus dijaga, dirawat dan dikembangkan oleh bangsa dan negara. Meskipun demikian, kata Ustadz Zaitun, WI masih kerap disalahpahami bahkan tak luput dari fitnah yang tidak sedikit membuat aparat negara/pemerintah salah mempersepsi Dakwah para Ustadz dari Wahdah Islamiyah. Padahal, Wahdah Islamiyah telah menjadi Asset negara dalam pendidikan dan pembinaan mentalitas berkeagamaan dan berkebangsaan.
Menurut Chris Chaplin, Profesor dari London School of Economic and political Science yang menulis buku Salafism and Sate Islamic Activism and Nasional Identitas in Contemporary Indonesia, mengatakan; “Wahdah Islamiyah telah berkembang dari sebuah yayasan Islam revivalis kecil menjadi salah satu organisasi Islam terbesar dan paling Sukses di Indonesia. Lebih lanjut, menurut hasil penelitian Chris Chaplin, Wahdah Islamiyah menyadari betul, bahwa yang dibutuhkan di kalangan Muslim Sunni adalah persatuan bukan perpecahan. Karenanya, kebutuhan untuk berkompromi adalah bagian dari misi sosial Wahdah Islamiyah.
Dalam interaksi sosial, banyak kader WI menjadi panutan masyarakat, karena menonjol dari aspek sopan santun, menarik, dan berpendidikan universitas. Chaplin pun menegaskan bahwa mereka konon adalah tipe ideal Muslim Indonesia moderen. Kader Wahdah senantiasa membingkai misi mereka dalam term nasionalis, dan mengurangi potensi perpecahan atau kecaman intra-Sunni dan menegaskan bahwa mereka mendorong agenda Islam. Lagi pula, bahwa Islam justru memperkuat identitas nasional, dan bahwa kesalehan meningkatkan kemampuan seseorang untuk berkontribusi pada bangsa. Chaplin pun menegaskan, bahwa seruan dakwah Wahdah tidak mengarah pada negara Islam, melainkan sebuah visi yang bekerja dalam batas-batas UUD 1945 dan ideologi negara Pancasila.
Prestasi WI tersebut dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam berkeIndonesiaan dalam bingkai NKRI tersebut, tentu tak terlepas dari leadership Ketuanya, KH. DR. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, MA beserta jajarannya para Ustadz /Ulama di Wahdah.
Dalam orasi Ilmiah Prof Jajang Jahroni, MA,Ph.D di UIN Syarif Hidayatullah yang berjudul: “Munculnya Kelompok Salafi-Wahabi di Era Indonesia Kontemporer”. Prof Jajang mengurai sejarah latar belakang penyebab munculnya gerakan Salafi-Wahabi di Indonesia akhir-akhir ini baik yang bercorak tekstual hingga kontekstual yang moderat hingga radikal seperti Jaf’ar Umar Thalib, pendiri Laskar Jihad, hingga Habieb Riziek pendiri Front Pembela Islam (FPI). Prof Jajang justru memosisikan Zaitun Razmin pendiri Wahdah Islamiyah sebagai sosok tokoh yang bercorak Reformis (halaman 4).
Boleh jadi, sikap dan pandangan Islam Reformis itulah yang membuat Wahdah Islamiyah dapat diterima oleh semua pihak, sehingga dapat dengan pesat Wahdah Islamiyah sukses dan berkemajuan. Wallahu a’lam bishawwabe. *