English English Indonesian Indonesian
oleh

Terasi Literasi

Oleh: Muh. Quraisy Mathar, Dosen UIN Alauddin

Siapa di negeri ini yang tak kenal dengan terasi? Bumbu permentasi, terbuat dari ikan atau udang yang dijadikan adonan dan memiliki aroma yang sangat menyengat.

Bahkan bagi sebagian orang di negeri ini, tak ada terasi sama saja dengan tak makan. Padahal terasi itu hanya makanan pelengkap, bukan makanan pokok, namun tetap saja tidak-hadirannya bisa saja menjadikan makanan pokok turun kasta dan hanya menjadi makanan penunjang sekelas kudapan. Harap maklum, bangsa kita memang terkenal sebagai penyantap aneka bumbu dan adonan. Wajar, sebab negeri kita memang surganya bumbu dan adonan. Bukankah karena bumbu dan adonan itulah kita sempat merasakan dijajah beratus-ratus tahun oleh bangsa lain yang juga ingin merasakan dan menguasai sedapnya bumbu dan adonan ala negeri kita. Terasi itulah yang menjadi salah satu sebab kita pernah dijajah.

Puluhan tahun setelah merdeka, tiba-tiba bangsa kita mendengar lagi ungkapan terasi. Oh, ternyata hanya senada, ada 2 huruf awal yang membedakannnya, bukan terasi melainkan literasi. Istilah yang sebetulnya mulai viral disebut-sebut di negeri kita sekitar tahun 2016. Saya mencoba berbagi beberapa tafsiran tentang literasi di beberapa daerah, misalnya jika literasi dieja menggunakan lidah Indonesia, maka orang Arab akan mendengarnya dengan nada liy-tirasi, sebab tak ada vokal “e” dalam struktur bahasa Arab.

Uniknya, kata liy-tirasi di Arab itu artinya adalah “burung cui-cui (sejenis burung gereja) kepunyaanku”. Sementara jika lidah kita mengeja literasi di Eropa Timur, sebagian orang akan mendengarnya sebagai lit erasi yang artinya adalah “dipecat”. Lalu bagaimana jika literasi itu disebut di negeri kita sendiri? Saya akan menjawab dengan tafsiran yang juga akan sangat aneh, yakni tergantung pengucapannya, misalnya jika kita mengeja dengan liter-asi, maka tentulah tafsirannya adalah jumlah takaran atau banyaknya volume air susu ibu. Namun jika kita mengejanya dengan li-terasi, bisa saja ditafsirkan sesukanya oleh anak negeri yang berketurunan Arab, atau yang paham bahasa Arab, dengan “terasi kepunyaanku”.

Seperti itulah literasi saat ini, dieja, diajarkan, dan didiskusikan. Semua orang berhak untuk menafsirkannya dengan cara dan metode sesuka para penafsirnya. Muncullah istilah pejuang literasi, salam literasi, komunitas literasi, literasi digital, literasi pertanian, cakap literasi, panggung literasi dan yang terkini adalah “terasi literasi”. Literasi sejatinya adalah ke keterampilan komplit seseorang dalam mengambil sikap dalam kehidupan sehari-harinya, baik sosial, ekonomi dan politik (Paulo Freire).

Literasi adalah kemampuan seseorang untuk mengelola kebutuhan informasinya, meliputi dentifikasi, strategi penelusuran, kontrol, dan pemanfaatan. Beberapa orang yang berpikir terlalu sederhana tentu lebih suka menyebut bahwaliterasi adalah membaca, walau pada penjelasan selanjutnya membaca itu ternyata tak juga seragam. Membaca tak hanya mengeja huruf dan kata, bisa juga membaca pikiran, membaca kondisi masyarakat, membaca gejala alam, membaca peluang, membaca permainan yang nota-bene seluruhnya tidak berkaitan dengan melek huruf (aksara). Bukankah saudara kita yang tuna netra juga tak membaca dengan cara mengeja, melainkan dengan cara meraba huruf-huruf braille. Artinya, secara sederhana literasi itu adalah membaca dengan cara dan gaya yang beragam. Boleh sesuka-sukanya, boleh dengan cara melihat, mendengar, mengendus, atau bahkan cukup dengan merasakan.

Terasi itu adonannya terbuat dari ikan dan udang, sementara literasi adonannya adalah pendidikan dan pengalaman hidup.Terasi itu aromanyasangat menyengat, sementara literasi menghasilkan aroma kesturi ilmu dan pengetahuan plus kebijaksanaan.Terasi dapatdibuat melalui proses membaca. Terasi yang bagus tentu dihasilkan dari bacaan yang bagus pula. Tentu tak salah jika menyebut bangsa yang tak suka diganggu saat membaca adalah bangsa literasi. Sementara bangsa yang lebih suka mengganggu saatorang lain sedang membaca adalah bangsa terasi.

Kita tentu tak mau disebut sebagai bangsa terasi, walaupun terasi itu sejatinya adalah produk asli bangsa kita. Kita juga tentu ingin disebut sebagai bangsa literasi, walau indeks literasi kita sampai saat ini masih termasuk kategori sangat rendah. Sudah waktunya literasi menjadi prioritas pembangunan ke depan. Berliterasi yang baik,setidaknya akan mendorongkita menjadi bangsa yang unggul. Namun jika bangsa kita hanya senang mengurus terasi dan terasi, maka tak usah marah,mungkin kita memang masih sebatas bangsa yang masih terus belajar tentang terasi literasi. (*)

News Feed