OLEH: Dr Abdul Rahman Nur SH MH, Akademisi Universitas Andi Djemma Palopo, Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN), dan Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA)
Aktivitas pertambangan selalu mendapat sorotan publik, karena beberapa aspek di antaranya pertama, usaha pertambangan skala besar membutuhkan lahan yang cukup luas. Contoh sederhana saja seperti PT Vale yang diperkirakan memiliki luas lahan konsesi di 3 Provinsi di Sulawesi dengan luasan kurang lebih 100.000, ha, artinya bahwa dengan luasnya lahan yang dikuasai maka secara otomatis akan berisiko menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan ekologi.
Kedua, pada aspek bisnis atau ekonominya, usaha pertambangan sangat menjanjikan untuk memperoleh keuntungan yang cukup besar, sehingga terkadang terjadi persaingan atau kompetisi untuk memperoleh manfaat dari usaha pertambangan yang ada, termasuk bagi hasil untuk pemerintah sebagaimana telah diamanatkan dalam perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, usaha pertambangan juga dapat memberi peluang bagi masyarakat untuk memperoleh pekerjaan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Isu pertambangan memang sangat seksi dan kerap menjadi perdebatan antara pihak, mengapa demikian?, karena pertambangan bersifat ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam, sehingga membutuhkan usaha atau teknologi dalam memperoleh bahan bakunya, seperti yang terjadi dibeberapa perusahaan pertambangan, termasuk PT Vale di Luwu Timur yang memproduksi biji nikel. Selain itu juga industri pertambangan sangat padat modal dan menggunakan teknologi tinggi, sehingga membutuhkan perusahaan yang betul-betul sudah mapan dan memiliki pengalaman dalam mengelola usaha pertambangan, kemudian juga memiliki risiko bisnis dan lingkungan yang cukup tinggi, karena jika salah mengelola maka akan berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar.
Terkait kewenangan pengelolaan pertambangan juga terjadi gap antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, adanya sentralisasi kewenangan oleh pemerintah pusat, menjadikan kabupaten/kota sebagai penghasil tambang, menjadi tak punya kewenangan dan bahkan justru pemerintah kabupaten/kota yang akan mendapatkan resiko dari aktivitas pertambangan, kemudian juga masyarakat lokal kecenderungannya hanya menjadi penonton ditanah mereka sendiri. Hal inilah yang sebaiknya menjadi pemikiran para pihak untuk membangun sistem yang lebih adil dan arif dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan untuk sebesarnya bagi kemakmuran rakyat.
Sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi (UUD 45) dalam Pasal 33 Ayat 3 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalimat dikuasai oleh negara telah ditafsirkan dalam beberapa perundang-undangan termasuk UU 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Putusan MK 36/PUU-X/2012 dan juga dalam UU 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam perspektif UU agraria dijelaskan jika hak menguasai negara dalam kerangka menentukan dan mengatur kewenangan negara/pemerintah terkait peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang. Artinya bahwa negara memiliki kewajiban untuk tetap menjaga pemanfaatan dan kelestarian lingkungan untuk keberlangsungan kehidupan warga negaranya.
Kemudian juga menjaga atau mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan lingkungannya, termasuk perbuatan-perbuatan atau perilaku manusianya. Jadi pengusaan negara atas sumberdaya alam dalam kerangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Yang menarik dalam regulasi ini adalah kewenangan negara dapat juga diberikan kepada masyarakat hukum adat untuk mengatur pengelolaan sumber daya alamnya,hal ini yang belum terimplementasikan dalam regulasi yang ada sekarang, khususnya regulasi terkait pertambangan, bahkan masyarakat hukum adat kerap menjadi korban dari kebijakan pertambangan yang ada.
Mahkamah Konstitusi (MK) juga membangun perspektif terkait hak menguasai negara, MK membagi bentuk penguasaan dan tujuan penguasaan negara. Dimana bentuk penguasan terdiri dari pengaturan yang diarahkan kemanfaatan bagi masyarakat, kemudian kebijakan yang diarahakan untuk pemerataan manfaat bagi rakyat, terkait pengelolaan lebih diarahkan pada partisipasi rakyat, pengurusan yang diidentikkan dengan penghormatan hak masyarakat hukum adat, dan aspek pengawasan diarahkan pada hukum yang berkeadilan.
Dalam UU Pertambangan perspektif hak mengusai negara, dijelaskan bahwa mineral dan batu bara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Namun dijelaskan juga jika penguasaannya diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Kemudian dalam UU 40 Tahun 2027 tentang perseroan terbatas, dijelaskan terkait tanggungjawab sosial dan lingkungan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
Namun dalam UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam pasal tertentu dijelaskan bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang dianggap telah memenuhi syarat dapat dipidana kurungan atau denda. Tentu hal ini juga menimbulkan pembatasan terhadap partisipasi masyarakat dalam kebijakan pertambangan, yang seharusnya berpihak pada masyarakat.
Adanya penolakan beberapa gubernur di Sulawesi terkait perpanjangan IUP PT Vale, tentu membuat sontak banyak pihak, ada yang mendukung namun sebagian juga meminta untuk tetap diperpanjang. Yang terpenting sebenarnya dari polemik ini adalah bagaimana posisi rakyat dalam kontestasi para kepala daerah ini untuk mengelola usaha pertambangan dengan dalih demi kesejahteraan rakyat, apakah benar perusahaan pertambangan selama ini masih minim memberikan konstirbusi buat pembangunan daerah?
Jika benar pemerintah provinsi yang akan mengelola, seperti apa konsepnya yang betul-betul bisa mensejahterkan rakyatnya, hemat penulis kedepan Β sebaiknya penegak hukum seperti KPK fokus juga untuk isu pengelolaan sumber daya alam, agar hasil dari usaha pertambangan dapat betul-betul dirasakan manfaatnya oleh rakyat, dan mencegah terjadinya penyalahgunaan anggaran dari sektor pertambangan. (*)