OLEH: Anhar Dana Putra, Dosen Politeknik STIA LAN Makassar
Beberapa pekan terakhir, jagad maya Indonesia digemparkan oleh kemunculan akun anonim yang menamai dirinya Bjorka.
Bjorka merupakan seorang pengguna situs gelap (beberapa menyebutnya hacker) yang mulai dikenal atas aksinya membocorkan 1,3 miliar data registrasi SIM card ke situs Breached Forum. Ia mengklaim bahwa data tersebut ia bobol dari database Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kasus kebocoran data ini tak pelak membuat netizen gempar dan mulai mengecam Kemkominfo atas kebocoran yang memalukan itu.
Netizen mulai melirik dan bersimpatik kepada Bjorka setelah ia melayangkan kecaman“stop being an idiot” kepada Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen Aptika Kemkominfo), Samuel Abrijani Pangerapan yang sempat meminta kepada sang hacker dalam sebuah konferensi pers untuk tidak menyerang Kemkominfo paska kasus kebocoran data tersebut. Lewat kecaman itu, Netizen mungkin merasa Bjorka telah mewakili kekesalan mereka. Netizen Indonesa belakangan memang sedang kesal kepada Kemkominfo yang menelurkan kebijakan pemblokiran beberapa situs di internet, seperti Steam dan Paypal, yang menuai kontroversi.
Rasa simpati netizen Indonesia semakin menjadi setelah Bjorka kembali viral karena berhasil membocorkan data pribadi Menkominfo, Johnny G. Plate. Mulai dari nomor telepon, NIK, alamat rumah, hingga data-data lain sifatnya sangat pribadi. Netizen kemudian memanfaatkan kebocoran ini dengan berama-ramai membully Menkominfo dengan menyimpan nomor Johnny G Plate dengan nama-nama yang konyol sehingga bisa terlihat melalui aplikasi Getcontact. Ada juga beberapa netizen yang nekat mengirimkan SMS bernada bullian secara langsung ke nomor telepon tersebut.
Bjorka seolah mempersembahkan sebuah ruang kepada netizen untuk melampiaskan kekesalan kepada Menkominfo karena kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang nyeleneh dan terkesan menyepelekan setiap kali tampil di publik membicarakan kebijakan Kemkominfo, termasuk kebijakan pemblokiran dan kasus kebocoran data di atas, padahal kasus-kasus tersebut sangatlah genting dan membutuhkan penanganan serius.
Tidak ada yang tahu apa motif asli di balik setiap aksi yang dilakukan oleh Bjorka. Apakah kemunculan Bjorka murni merupakan produk dari ketidakpercayaan warga negara terhadap kinerja pemerintah yang inkompeten, sekadar manuver intelijen ataukah ada motif politik partisan dibaliknya. Semuanya kabur kecuali satu hal; Bjorka sudah memenangkan hati sebagian besar netizen Indonesia. Sekalipun ada juga beberapa netizen yang tidak setuju dengan itu, karena meyakini bahwa metode aksi yang dipraktikkan oleh Bjorka menggunakan cara-cara yang tidak etis dan melanggar hukum. Beberapa netizen bahkan tidak ragu mengelu-elukan Bjorka sebagai sosok pahlawan, dan tak lagi peduli jika metode aksi yang ia terapkan itu etis atau tidak, legal atau tidak.
Rasa simpati dan dukungan yang besar dari netizen terhadap Bjorka bisa saja disebabkan oleh adanya rasa tidak percaya serta kemarahan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang dinilai tidak kompeten selama ini, kemudian diperkuat oleh situasi sulitnya masyarakat untuk mengekspresikan kemarahan tersebut secara terbuka karena adanya ancaman UU ITE. Bjorka dianggap sebagai sosok yang tepat untuk mewakili masyarakat “menghukum” pemerintah atas kinerjanya yang tidak becus, karena masyarakat tidak dapat melakukannya sendiri.
Sentimen ini menjadi lebih kuat karena masyarakat percaya bahwa Bjorka bisa melakukan apa saja kepada pemerintah dan pemerintah tidak akan berdaya menghadapinya. Sentimen ini dipertegas oleh bio akun twitter Bjorka yang bertuliskan “catch me if you can” yang memberi impresi bahwa Bjorka adalah sosok yang tak dapat disentuh oleh siapapun (untouchable).
Betapapun kita merasa terhibur dan mungkin terwakili oleh kehadiran Bjorka, tetap saja tidak bisa dipungkiri aksi Bjorka adalah aksi melawan hukum. Ada dampak tidak langsung yang bisa saja merugikan masyarakat dalam jangka panjang. Jika Bjorka terus-menerus bebas menjalankan aksinya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan menjadi semakin besar sebab eksistensi Bjorka telah mengekspos ketidak-berdayaan dan mempertegas inkompetensi pemerintah. Masyarakat akan berpikir “apa yang bisa diharapkan dari pemerintah yang melawan satu orang hacker saja tidak berdaya?”.
Pemerintah akan kehilangan muka dan kredibilitas dihadapan rakyatnya sendiri. Dikotomi laten pemerintah versus masyarakat akan semakin tajam sehingga bisa melejitkan ketidak-patuhan masyarakat terhadap hukum dan otoritas negara. Masyarakat akan meng-endorse tindakan-tindakan melawan hukum yang akan membawa masyarakat menuju chaos. Pada titik itu, bukan mustahil juga, revolusi yang sempat diinisiasi oleh Bjorka lewat akun twitternya bisa benar-benar terjadi.
Pertanyaannya, jika revolusi Bjorka benar-benar terjadi, di pihak manakah nanti anda akan berdiri? (*)