English English Indonesian Indonesian
oleh

Begini Idealnya Kontribusi PT Vale untuk Warga Lutim

Oleh: Asri Tadda (Direktur The Sawerigading Institute)

Polemik perpanjangan Kontrak karya (KK) PT Vale (dulunya PT Inco) kian ramai menyusul penolakan tegas 3 Gubernur yang ada di wilayah Kontrak Karya, yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Pemerintah beranggapan, kontribusi PT Vale selama ini masih sangat kurang. Bahkan untuk skala Kabupaten Luwu Timur saja yang notabene adalah lokasi tambang aktif PT Vale.

Selain itu, banyaknya lahan yang berstatus idle atau belum diolah, juga menjadi salah satu poin pertimbangan mengapa Kontrak Karya yang akan habis masa berlakunya pada 2025 mendatang, perlu dievaluasi kembali, atau malah tidak diperpanjang. Sementara di sisi lain, masyarakat lokal khususnya yang berdiam di sekitar wilayah tambang di Luwu Timur misalnya, justru beranggapan PT Vale sudah memberikan dampak yang signifikan bagi mereka selama ini.

Terbukanya lapangan kerja untuk penduduk lokal, dana CSR yang cukup besar, dan ‘kebaikan-kebaikan’ lain dari PT Vale menjadi alasan mengapa warga lokal tidak ingin eksistensi perusahaan tersebut diganggu, apalagi disuruh hengkang dari Sorowako dengan tidak lagi memperpanjang Kontrak Karyanya.

Sumbangsih PT Vale kepada Luwu Timur memang boleh dianggap cukup besar. Sejauh ini, sekitar 40% Pendapatan Asli Daerah (PAD) Luwu Timur memang disokong oleh sektor pertambangan dimana PT Vale memegang peranan dominan.

Hanya saja, apa yang telah diberikan oleh PT Vale dan PT Inco selama 50-an tahun terakhir, seharusnya tidak lantas membuat warga setempat untuk terlena dan menganggap itu sudah cukup.

Mengapa?

Jika merujuk kembali kepada UUD 45 Pasal 33 ayat (3), maka PT Vale seharusnya dapat memberikan kontribusi berkali-kali lipat lebih besar dan lebih signifikan dari yang telah diberikannya selama ini.

Sebagai gambaran, pada laporan resmi perusahaan dalam 5 tahun terakhir, pendapatan (kotor) PT Vale setiap tahunnya berkisar antara 10-14 triliun rupiah. Sementara laba bersihnya sekitar 1-2 triliun per tahun, setara dengan APBD Luwu Timur dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan hanya mengelola sekitar 8% dari total 118.000 hektar lahan tambangnya, PT Vale sudah bisa membukukan laba puluhan triliun per tahun.

Coba bayangkan jika lahan tambang yang dikelola bisa mencapai 20%, atau bahkan 50% misalnya. Berapa banyak pendapatan perusahaan yang bisa dibukukan?

Sementara, cukup dengan laba dari 7% lahan yang dikelola itu saja, PT Vale sesungguhnya bisa memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dari yang selama ini dialokasikan.

Saya mengimpikan setiap penduduk di Luwu Timur (bukan hanya di Kecamatan Malili, Wasuponda, Nuha dan Towuti saja), akan bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dan akses pendidikan gratis seumur hidup.

Jumlah penduduk Luwu Timur saat ini kurang lebih 300.000 jiwa. Jika misalnya PT Vale menanggung premi BPJS Kelas III bagi setiap warga Lutim, maka hanya perlu sekitar Rp126 Miliar. Boleh kita bulatkan hingga Rp150 Miliar saja sekalian.

Pada sektor pendidikan juga seharusnya demikian. Anggaran yang dibutuhkan untuk membuat setiap anak di Lutim bisa bersekolah dari tingkat SD, SMP hingga SMA kalau dihitung juga tidak jauh dari Rp150 Miliar.

Paling banter mungkin sampai sekitar Rp200-250 Miliar dan ini sudah termasuk bantuan pembiayaan beasiswa bagi mahasiswa S1, S2 bahkan hingga S3 yang berasal dari Luwu Timur.

Dari kedua sektor esensial bagi rakyat Luwu Timur ini, diperlukan sekitar Rp400-an Miliar per tahun. Sementara untuk intervensi di sektor perekonomian, dengan skema bantuan permodalan dan pengembangan usaha, bisa saja PT Vale mengalokasikan anggaran hingga 250 Miliar.

Tentunya, semakin besar dan semakin bagus perencanaannya yang dibuat untuk ketiga sektor penting yang menjadi indikator indeks pembangunan manusia (IPM) tersebut, maka akan semakin besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat di Luwu Timur.

Dengan kontribusi hingga Rp650 Miliar per tahun kepada rakyat Luwu Timur, PT Vale sebenarnya tidak akan pernah rugi. Toh laba bersih mereka tetap di atas angka itu, bukan?

Jika PT Vale beranggapan alokasi Rp650 Miliar per tahun itu cukup membebani mereka, mengapa tidak menambah saja luas lahan tambang yang dieksplorasi, misalnya 2 kali dari luas saat ini menjadi 14%, agar laba perusahaan juga bisa meningkat 2-3 kali lipat?

Dengan menambah luas lahan yang dieksplorasi, tentu akan membuka lapangan kerja yang lebih banyak lagi. Banyak warga lokal yang bisa bekerja di tambang sehingga kran ekonomi rakyat kembali berputar. Pendapatan domestik tentunya juga akan terkerek naik.

Nah, dari semua polemik mengenai PT Vale selama ini, yang harus digarisbawahi adalah bagaimana agar setiap pengelolaan sumber daya alam (SDA) khususnya pertambangan, bisa memberikan keuntungan dan dampak positif yang sebesar-besarnya, dan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat di sekitarnya.

Dana Rp650 Miliar per tahun untuk rakyat Luwu Timur, di luar dari kewajiban resmi perusahaan yang lain kepada pemerintah, bukanlah angka yang besar jika dibandingkan dengan berapa banyak keuntungan yang telah diperoleh, serta bagaimana dampak lingkungan yang ditimbulkan PT Inco dulu dan PT Vale selama ini.

Sebagai tuan rumah, rakyat Luwu Timur bahkan berhak mendapatkan lebih besar dari hanya Rp650 Miliar per tahun itu. Bersyukur memang perlu dilakukan atas setiap nikmat yang ada, tetapi berpikir lebih rasional dan proporsional juga tetap diperlukan.

Jangan sampai kita terbuai dengan kenikmatan kecil, padahal sesungguhnya kita berhak untuk mendapatkan yang lebih besar lagi. Karena itu, mari membuka perspektif yang lebih luas demi masa depan Luwu Timur yang lebih maju dan berkelanjutan. **

News Feed