OLEH: Arief Wicaksono, Direktur Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Bosowa. Peneliti Penta Helix Indonesia.
Akhirnya pada hari Sabtu 3 September 2022 pukul 14.30 WIB, Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, Solar, dan Pertamax.
Alasan utama pemerintah menaikkan harga BBM adalah karena anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 telah membengkak tiga kali lipat menjadi 502,4 triliun rupiah dan angka tersebut akan terus meningkat. Alasan kedua yaitu karena lebih dari 70 persen subsidi BBM justru dinikmati oleh golongan masyarakat mampu, yakni para pemilik mobil pribadi. Uang negara harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu, demikian imbuh Presiden (Kompas.com, 3 September 2022).
Empat hari sebelumnya, Rabu 31 Agustus 2022, bertempat di Kantor Pos Sentani Kabupaten Jayapura, Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo membagikan bantuan langsung tunai (BLT) bahan bakar minyak (BBM) sebesar 600 ribu rupiah yang akan dibayarkan dua kali selama empat bulan. Pembagian BLT BBM tersebut akan dibagikan kepada 20,6 juta kepada penduduk miskin penerima manfaat dan juga kepada 16 juta pekerja. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, total jumlah keseluruhan bantuan pengalihan subsidi BBM adalah sebesar 24, 17 trilyun rupiah, dengan mekanisme penyaluran bantuan ditentukan oleh Kementrian Sosial (Setneg.go.id, 31 Agustus 2022).
Tidak ada realitas tunggal
Dua fenomena di atas bukanlah dua buah fenomena yang masing-masing berdiri sendiri, bahkan sebenarnya menunjukkan relasi kausal yang sangat jelas yaitu: karena harga BBM naik, maka BLT turun (dibagikan). Uang yang seharusnya buat membayar subsidi BBM, sekarang dialihkan untuk membayar BLT. Sebagian kalangan bahkan membuat berbagai analisa statistik yang sedemikian canggihnya tentang hitungan atas beban negara, dan hubungannya dengan kenaikan harga barang pokok ketika subsidi BBM dicabut serta proyeksi pertumbuhan ekonomi yang ribet dengan harapan masyarakat akan memaklumi dan bersikap nrimo atas situasi yang terjadi. Toh dalam hitung-hitungan tersebut, nampak dengan gagahnya bahwa negara masih memiliki cukup uang untuk kita semua!
Sebagian kalangan yang lain, terutama yang percaya dengan teori konspirasi dan penonton setia film-film Marvel dan sejenisnya juga menekankan, bahwa semua hal di dunia ini sesungguhnya adalah rangkaian yang saling terhubung satu dengan yang lain. Malah jangkauan imajinasinya lebih liar, buas, dan cenderung ke mana-mana. Mereka membayangkan, bahwa sebenarnya momentum pencairan BLT, pencabutan subsidi BBM, massif-nya sinetron stripping polisi tembak polisi dan pentingnya kelas menengah seperti yang disampaikan oleh Bank Dunia di awal tahun 2020 lalu, merupakan satu kesatuan rangkaian jalan cerita, demi berlanjutnya skenario sinetron lawas Tiga Periode, yang akhir-akhir ini mulai menghilang dari ingatan publik.
Kelas menengah adalah kunci
Perdebatan tentang pengaruh kelas menengah itu sendiri telah menjadi narasi politik di mana-mana. Pada masyarakat Barat, Friedrich Engels pernah mengklasifikasikan kelas menengah sebagai kelas sosial yang berada di antara kelompok bangsawan dengan kelompok pekerja atau petani. Pada masyarakat Timur seperti Jepang, kelas sosial baru yang disebut chonin, muncul di awal era Shogun Tokugawa. Mereka adalah kelompok warga yang umumnya berprofesi sebagai pedagang, seniman dan pengrajin.
Karena berada di tengah antara kelompok rakyat bawah dengan kelompok para bangsawan, Chonin memengaruhi banyak perubahan secara kultural yang terjadi di Jepang. Mereka menjadi kelompok yang mendobrak social barrier, relasi antar kelas yang terkungkung hierarki dalam masyarakat Jepang. Seiring perjalanan waktu, kelompok yang kemudian disebut sebagai new bourgeoisie ini punya posisi yang sangat kuat memengaruhi jalannya politik dan ekonomi di sebuah negara.
Bagi negara seperti Indonesia, keberadaan kelas menengah adalah kunci dalam memahami bagaimana cara melestarikan kekuasaan. Karena, kelas menengah umumnya diidentikkan dengan kelompok yang terdidik, melek teknologi informasi dan komunikasi, serta secara ekonomi bisa dengan cepat mengalami up and down. Selain itu yang paling penting adalah, jumlah kelas menengah yang begitu besar, sehingga secara elektoral dapat mempengaruhi jalannya sebuah kontestasi politik. Oleh karena itu, jangan heran bila hampir semua kebijakan negara sengaja dibuat khusus untuk kenyamanan kelas ini.
Negara sedang bermain api
Bagi warga negara yang waras, realistis, terdidik, dan obyektif, menghubungkan variabel naiknya harga BBM, pentingnya kelas menengah, kasus polisi tembak polisi, dengan rencana Tiga Periode adalah nonsens, cocokologi, dan tidak masuk akal! Tapi, bagi warga negara yang tidak waras, kurang berpendidikan, dan subyektif, hal itu bukanlah sebuah khayalan semata, melainkan sebuah kemungkinan yang jamak, yang lebih mereka percayai sebagai sesuatu yang by design ketimbang given. Kalau Karl Popper menguji sesuatu dengan cara falsifikasi, atau memunculkan gerombolan wildman kalau menggunakan cara Thomas Kuhn, orang-orang tidak waras ini menggunakan hasil survei untuk menguji rangkaian sebab-akibat itu.
Hasil-hasil survei akan bertebaran ke seantero jagad politik 2024, dengan tujuan mencari setitik lubang jarum tentang seberapa puas masyarakat terhadap kinerja pemerintahan akhir-akhir ini. Dengan menggunakan metodologi itu, keniscayaan tentang kehendak untuk mengubah konstitusi akan mendapatkan jalannya, karena telah mendapatkan alas argumen yang dianggap cukup memadai. Dengan demikian, negara seperti sedang bermain api dengan warganya, dan ternyata warga sendiri juga senang berada di dekat api, karena mereka terlanjur yakin, bahwa lebih dekat dengan api, akan lebih mudah mengelola dampak kenaikan BBM. (*)