Meski sudah hampir 2 bulan, namun kasus Sambo terus saja menjadi materi utama pemberitaan media. Hebatnyai karena Polri TV yang relatif asing bagi pemirsa nasional, tiba-tiba menjadi sangat populer saat meliput secara penuh rangkaian aktivitas rekonstruksi kasus FS tgl 30/8/22. Herannya dalam rekonstruksi tersebut, tak ada adegan pelecehan Brigadir J kepada PC. Padahal dalam hasil pemeriksaan perdana PC tgl 26/8/22 pasca ditetapkan sebagai tersangka, PC konon tetap bersikukuh di depan penyidik bahwa ia bersikukuh sebagai korban pelecehan. Hal ini tentu paradoks dengan Timsus sendiri yang telah menerbitkan SP3 mengenai hal tersebut.
Paradoksi yang sangat mencengangkan dibalik kasus ini adalah viralnya infografis FS sebagai pengendali utama konsorsium 303. Paradoksnya lagi meski dalam infografis tersebut terpampang vulgar sejumlah petinggi Polri sebagai jaringan konsorsium 303, namun tak satupun melakukan reaksi, baik dalam bentuk klarifikasi, maupun aksi pengaduan pencemaran nama baik. Sebab sudah jamak di masa kini, orang melakukan pengaduan kepada kepolisian meski hanya perkara remeh-temeh mengenai ITE. Apakah sikap diam mereka tersebut pertanda mengakui kebenaran infografis itu? Atau hal itu merupakan manifestasi ultimatum Kapolri kepada semua jajarannya untuk ditindak tegas jika terindikasi terlibat mafia.
Herannya lagi ketika penyidik Polri mengumumkan pelimpahan kepada Kejagung BAP kasus FS dkk, para pemerhati hukum kembali kecewa lantaran penyidik hanya mengganjar para pelaku dengan pasal 340, 338 jo pasal 55 dan 56 KUHPid. Padahal dalam tragedi pembunuhan Brigadir J, para pelaku terlibat dengan delik concursus idealis dan realis, mulai obstruction of justice, pembohongan, fitnah, laporan palsu, suap hingga pencurian property korban dll, semuanya luput dari BAP penyidik.
Namun paradoksi yang paling menyita perhatian publik di balik kotak pandora FS adalah sikap inkonsistensi FS sendiri ketika divonis mati karier oleh Hakim Komisi Kode Etik Polri 26/8/2022. Inkosistensi tersebut sangat mencolok ketika FS mengajukan Banding, padahal dalam RDP dengan Komisi 3 DPR RI, Kapolri membenarkan menerima surat pengunduran diri FS sebagai anggota Polri. Namun banyak yang menengarai aksi FS itu merupakan salah satu strategi untuk mengulur-ulur waktu.
Hal ini tentu tidak mengherankan, karena bukan FS jika tidak pandai berkelit. Perhatikan saja bunyi surat FS yang beredar luas di Medsos yang mengaku menyesal dan minta maaf pada para seniornya. Dalam himpitan ruang sempit yang dialaminya, menanti detik-detik kejatuhannya, FS mencoba menggugah sentimen korsa Bhayangkara dengan spekulasi tingkat tinggi demi menemukan celah untuk lolos dari jerat hukum, betapapun mustahilnya.
Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan Bhayangkara, FS sangat tahu 1001 cara menghitamkan yang putih atau memutihkan yang hitam melalui beragam siasat dan manipulasi kasus yang lazim ditangani rekan sejawatnya di Polri selama ini. Skenario obstruction of justice yang disutradai FS, jelas merupakan potret nyata tentang mudahnya oknum Polri mempermainkan penegakan hukum.
Semua ini tidak hanya sekedar pelajaran penting tetapi menginspirasi para pemegang otoritas agar segera melakukan reformasi besar-besaran dalam tubuh Polri, termasuk kemungkinan Bareskrim keluar dari Polri untuk menjadi komisi investigasi independen seperti FBI di Amerika Serikat yang dijamin lebih bebas dari berbagai intrik permainan kasus. (*)