Maya sudah remaja. Usianya sudah 13 tahun. Sejak ditinggal pergi ibunya, dialah yang merawat ayahnya yang stroke dan menjaga kedua adiknya, Ahmad dan Asizah.
RUDIANSYAH
WATAMPONE
JARUM jam pendek menunjuk angka empat. Sementara jarum panjangnya menunjuk angka 11. Lima menit lagi sudah pukul lima sore, Kamis, 21 Juli.
Mobil operasional Baznas Kabupaten Bone melaju dari Jalan Sungai Citarum, Kelurahan Bukaka, Kecamatan Tanete Riattang menuju Jalan Cempalagi, Kelurahan Bukaka, Kecamatan Tanete Riattang. Tepat setelah melalui kediaman mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, mobil Baznas berhenti. Jaraknya sekitar 200 meter. Tepat di depan UPT SD INP 6/67 Bukaka.
Wakil Ketua I Baznas Bone Farida Hanafing keluar dari dalam mobil. Tangan kanannya memegang tiga tas berwarna hijau. Lengkap dengan alat tulisnya. Dari tepi jalan, dia menatap rumah kayu berwarna kuning. Dinding kayunya terlihat sangat rapuh, sudah banyak termakan rayap.
Rumah ini milik Astina, tempat di mana Maya dan kedua adiknya tinggal. Di halaman rumah itu, ada pohon mangga yang cukup rindang. “Assalamualaikum,” ucap Farida sebanyak tiga kali sambil mengetuk pintu rumah.
“Walaikumsalam,” jawab seorang anak sambil membuka pintu. Namanya Ahmad, adik Maya. Dia tersenyum menatap Farida. Lalu menyodorkan tangan kanannya memegang telapak tangan kanan Farida, hingga ditempatkan pada keningnya.
Ahmad mengenakan hanya mengenakan sarung dan baju kaos oblong. Tangan kirinya terus memegang sarung. Tak boleh menyentuh bagian vitalnya. Masih proses penyembuhan setelah disunat, pekan lalu.
“Maya dan Asizah pergi mengaji. Kalau tente pergi sawah. Hanya saya sendiri di rumah. Sepertinya, tidak lama lagi pulang,” kata Ahmad.
Farida yang memberikan tas dan perlengkapan alat tulis membuat Ahmad meneteskan air mata. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari anggota Baznas, juga merasa sedih karena tak pernah merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Saat masih balita, Ahmad bersama kakaknya Maya, dan adiknya Asizah tinggal di Kalimantan. Saat itu, kehidupannya masih sangat bahagia. Ibu dan Ayahnya masih bersama. Namun, lima tahun kemudian, orang tuanya bertengkar. Ibunya pergi meninggalkan mereka.
Setelah ibunya pergi, Ayahnya terkena stroke. Lumpuh total. Hanya bisa duduk di kursi roda. Maya yang saat itu baru berusia enam tahun mengurus ayahnya dan kedua adiknya di tanah rantau. Entah bagaimana cara mereka, sekitar tahun 2016-2017 berhasil tiba di pelabuhan Parepare, Sulsel.
Di pelabuhan, Maya sempat menjadi sorotan warga karena berjuang menjaga ayahnya. Makanya, banyak warga yang membantu memboyongnya naik ke mobil angkutan menuju Bone.
Pada tahun 2021, Sultan –ayah mereka meninggal dunia. Maya yang sudah kehilangan kedua orang tuanya menjadi sosok panutan bagi kedua adiknya.
Ahmad masih ingat nama Ibunya. Dia bilang bernama Ana. Soal pertengkaran yang terjadi antara kedua orang tuanya. Ahmad sudah menguburnya. Tak ingin mengungkitnya lagi. Apalagi, ibunya hingga kini tak ada kabar sama sekali.
Di halaman rumah, sudah ada Maya dan Asizah. Mereka menggunakan mukenah. Dia melempar senyum kepada Farida. Sementara Ahmad izin untuk istirahat. Dia merasa, alat vitalnya terasa keram. “Ganti pakaian dulu nak,” ucap Farida kepada Maya dan Asizah.
Sejak tinggal di Bone, Maya dan kedua adiknya merasa hidup lebih baik. Sebab, bisa sekolah. Makan pun tidak sulit. Tetapi, Maya bersama kedua adiknya merasa tahu diri. Makanya, ikut membantu tantenya saat pergi bekerja sebagai buruh tani ataupun menjadi buruh di percetakan batu bata merah.
Tetapi sejak satu bulan terakhir, Maya bersama kedua adiknya jarang lagi membantu tantenya. Mereka diminta memanfaatkan waktu untuk fokus mengaji di saat tantenya sibuk menggarap sawah milik orang lain. Maya cukup memasak saja di rumah.
“Jadi kalau Tante pergi sawah. Saya yang memasak untuk adik. Masak nasi, ikan, dan sayur. Sudah bisa,” ungkap Maya sembari berjalan menuju tempat di mana dia biasa membantu tantenya mencetak batu bata merah.
Lokasinya tidak begitu jauh. Tepatnya di belakang tempat dia sekolah di UPT SD INP 6/67 Bukaka. Di sana, masih ada Jamaluddin, pemilih usaha percetakan batu bata merah. “Eh Maya dan Asizah. Sini nak,” sambut Jamaluddin.
Jamaluddin bilang, sejak Maya dan kedua adiknya ditinggal Ibunya. Mereka hidup bersama tantenya. makanya, mereka ikut membantu tantenya. “Saya ikut prihatin. Mereka kadang angkat tanah dan kadang mencetak juga,” ungkapnya.
Jamaluddin menganggap, apa yang dilakukan Maya dan kedua adiknya sebagai bentuk membantu tantenya saja. Makanya, semua hasil pekerjaannya diakumulasikan ke pendapatan tantenya.
“Saya berharap mereka terus sekolah. Baiknya masuk ke pesantren nantinya,” tutur Jamaluddin yang juga seorang guru di salah satu sekolah pesantren di Bone.
Farida Hanafing yang menyaksikan perjuangan hidup tak mampu membendung air matanya. Dia diam-diam menghapus air matanya yang sudah mengalir ke pipi. Dia tak ingin terlihat sedih oleh Maya.
“Itulah kenapa setiap bulan kami memperhatikan mereka. Setelah sekolah dasar, insyaallah kami urus dia masuk Pesantren. Sembari mendoakannya sukses di kemudian hari,” tutup Farida. (*)