English English Indonesian Indonesian
oleh

Pulau Salemo

Iduladha tahun ini saya diundang ke Pulau Salemo. Ini tentu surprise, sebab selama berdakwah kurang lebih tiga puluh enam tahun, baru kali ini saya diundang di Pulau. Pulau Salemo sudah lama saya kenal, bahkan punya cita-cita menginjak tanahnya. Akhirnya terwujud. Bukan tanpa alasan, di pulau ini menyimpan banyak sejarah, terutama sejarah lahirnya banyak ulama yang belajar dan dididik di sana. Almarhum ayah saya K.H. Muammad Alwy Ali memulai pendidikannya di Pulau Salemo, sebelum Indonesia merdeka. Selesai di sana beliau melanjutkan pendidikannya di DDI Mangkoso di bawah asuhan AGH Abdurrahman Ambo Dalle. Tamat dari DDI Mangkoso menuju Sengkang menuntaskan hafalan Qur’annya di Puang Syek Massere. Cita-citanya menuntut ilmu kemudian diteruskan ke Makkah al-Mukarramah selama hampur 10 tahun.

Dengan menumpang kapal motor dua mesin, saya sampai kurang lebih tujuh menit dari di Desa Mattiro Bombang, Kecamatan Liukang, Pangkep. Menyusuri jalan-jalan kecil saya singgah salat  Asar di Masjid Nurul Ulama. Pikiran saya melintasi jejak sejarah, di mana  di Pulau tersebut menjadi saksi berkumpulnya para ulama mengajarkan ilmunya. Mungkin itulah sebabnya  masjidnya di beri nama Nurul Ulama, yang berarti Cahaya Ulama. Itulah sebabnya Pulau Salemo kerap disebut “Pulau Para Ulama”. 

Di pulau inilah tempat dikadernya sebagian ulama-ulama kharismatik di Sulawesi Selatan. Alumninya menyebar bukan hanya di Sulawesi Selatan, namun juga menyebar di luar Sulawesi Selatan. Tersebutlah beberapa nama ulama kharismatik yang pernah menebarkan ilmunya, seperti AGH Abdullah Betti, AGH Ismail, AGH Abdurrahim (puang Walli) yang dianggap sebagai ulama yang mula-mula membuka pengajian di Pulau Salemo. Beberapa nama lain yang ikut mengajarkan dan mengembangkan Islam seperti AGH Abdul Azis, Puang Palili, AGH Muhammad Amin, AGH Muhammad Sanusi, AGH Muhammad, AGH Abdurrasyid, AGH Manajollo-Puang Panrita, dan AGH Minhajuddin.

Para ulama tidak mengajar dalam sebuah bangunan seperti Pondok Pesantren umumnya. Sistem pengajian yang dipakai adalah pengajian salafiyah (pondok) umumnya belum mempunyai kelas (strata/tingkatan). Pondok mereka adalah rumah pribadi atau rumah warga yang diwakafkan kepada para ulama tersebut. Persoalan pangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka ditanggung oleh para saudagar dermawan dan warga yang mampu. Pada waktu itu, perekonomian warga cukup menjanjikan. Mereka hidup berkecukupan dari hasil laut yang melimpah ruah dan dengan mudah mendapatkan barang dagangan dari para saudagar Muslim yang berasal dari Timur Tengah dan Asia seperti  Tiongkok, yang biasa berlabuh menjajakkan barang dagangannya (Suriadi, 2020).

Sejarah mencatat, dari sinilah  awal mula hadirnya pengajian pondokan di Sulawesi-Selatan, khususnya model pengajian yang memakai pola jenis mengaji sorongan. Upaya dakwah tersebut yang akhirnya ikut melahirkan beberapa ulama ternama dan masyhur di Sulawesi Selatan seperti AGH Abdur Rahman Ambo Dalle Pendiri Darud Da’wah Wal Irsyad, AGH Rahman Mattameng, dan AGH Amberi Said.

Siangnya, usai khutbah Iduladha, langkah kaki saya kembali menyusuri jalan setapak menuju dermaga yang sangat sederhana untuk  naik kembali ke kapal motor menyeberang ke Pangkep. Saya kembali mengenang  kejayaan Pulau Salemo sebagai pulau para ulama, pulau yang menjadi pusat pengajaran Islam abad ke-19. Secercah harapan semoga di Pulau Salemo bisa dibangun pesantren  untuk mengembalikan kejayaan Islam, tempat di mana bisa  melahirkan kembali Ulama Cendekia seperti dahulu kala. Wallahu a’lam. (*)

News Feed