OLEH: Andi Iqbal Burhanuddin, Alumni PERSADA Jepang/Dosen di Unhas
Shinzo Abe lahir dari keluarga politisi nasionalis, putra mantan Menteri Luar Negeri Shintaro Abe dan cucu dari mantan PM Nobusuke Kishi. Perdana menteri dengan masa jabatan terlama di Jepang ini berakhir di ujung bedil seorang pria bersenjata di acara kampanye politik untuk mendongkrak dukungan bagi Partai Demokrat Liberal (LDP) yang saat ini memerintah.
Kepergian mantan PM Jepang sebagai salah satu politisi paling transformatif di era pascaperang oleh Majalah Forbes dinobatkan sebagai salah satu pemimpin paling berpengaruh dunia (powerful people) pada 2018 membuat dunia terguncang. Apalagi, penembakan itu terjadi di negara dengan undang-undang senjata yang ketat dan salah satu Negara dengan tingkat kejahatan pembunuhan terendah.
Kenaikan pertama Abe ke posisi teratas Jepang terjadi pada tahun 2006, ketika ia terpilih sebagai pemimpin Demokrat Liberal dan menjadi perdana menteri Jepang pertama yang lahir setelah berakhirnya perang. Masa jabatan pertamanya sebagai perdana menteri terbilang berjalan tidak mulus dan singkat yang hanya setahun mulai 2006.
Namun pada 2012, Abe kemudian terpilih kembali menjabat untuk kedua kali, dan berkuasa hingga 2020. Bulan Agustus 2020, hanya empat hari setelah ia mencatat rekor sebagai pemimpin Jepang terlama tanpa gangguan, Abe mengundurkan diri sebagai perdana menteri karena sakit, setahun sebelum masa jabatannya akan berakhir.
Prestasi terbesar Abe terletak pada kebijakan politik luar negerinya yang tegas, dan strategi ekonomi khas yang dikenal dengan sejumlah reformasi politik besar atas namanya dan bahkan merek stimulus ekonominya yang diakui secara global, Abenomics. Platform penekanan pada relaksasi moneter dan reformasi keuangan serta fiskal sebagai kebijakan ekonomi Jepang membuatnya berhasil keluar dari krisis ekonomi akut yang sudah mendera sejak dua dekade sebelumnya. Sebuah Neologisme politis dengan istiah kebijakan Abenomiknya sukses memperbaiki sejumlah indikator perekonomian negeri matahari terbit tersebut.
Kebijakan yang dikenal dengan sebutan “Abenomics” sebagai konsekuensi dari strategi ekonomi bertujuan untuk mengatasi tahun-tahun resesi yang menimpa Jepang dengan cara melemahkan yen dan penguatan saham. Mencetak mata uang tambahan sehingga menghasilkan inflasi moderat, ketika uang ke pasar ini akhirnya mendorong produk Jepang lebih terjangkau oleh konsumen akibat nilai tukar yang melemah untuk ekspor. Kemudian mencetak uang di pasar untuk merangsang permintaan dan konsumsi. Hal ini dilakukan untuk memicu pertumbuhan jangka pendek maupun mencapai surplus anggaran dalam jangka panjang dan hal itu berpengaruh hingga ke negara mitra basis produksi Jepang, termasuk ke Indonesia.
Dilansir dari laman Dirjen Perundingan perdagangan, sebuah kesepakatan kemitraan ekonomi antara Indonesia dan Jepang yang dikenal dengan IJEPA (Indonesian- Japan Economic Partnersip agreement) yang dilandasi tiga pilar utama yaitu liberalisasi, fasilitasi investasi/perdagangan dan kerjasama di prakarsai di masa jabatan Abe. Isi kesepakatan IJEPA tersebut diantaranya membuka kesempatan lebih luas bagi Indonesia bekerja di Jepang. Tercatat selama 2008-2017, Indonesia telah mengirimkan 622 tenaga perawat dan 1.494 tenaga perawat lansia; peningkatan kinerja perdagangan barang dan jasa. Dari segi peningkatan investasi, makin menarik minat Jepang dalam menanamkan investasi di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya tren investasi Jepang di Indonesia dari kisaran 2.6% (2000-2008) menjadi 28.9% (2009-2017) (https://ftacenter.kemendag.go.id/ijepa).
Selanjutnya Abe mereformasi berbagai peraturan guna mendorong industri Jepang lebih kompetitif dan untuk mendorong investasi di dan dari sektor swasta. Reformasi tata kelola perusahaan, pelonggaran pembatasan mempekerjakan staf asing di zona ekonomi khusus dan memudahkan perusahaan untuk memecat pekerja yang tidak efektif, meliberalisasi sektor kesehatan, dan menerapkan langkah-langkah bantuan pengusaha domestik dan asing, termasuk di dalamnya. Sejumlah Undang-undang juga diusulkan untuk merestrukturisasi industri utilitas dan farmasi dan memodernisasi sektor pertanian.
Perdagangan bebas dengan Eropa dan Pasifik mejadi langkah-langkah awal yang diambil guna mendorong perbaikan kerangka kerja perusahaan-perusahaan di Jepang. Dalam menghadapai tantangan penurunan populasi penduduk, Abe menggelar program untuk meningkatkan tingkat pernikahan dan kesuburan, meningkatkan layanan penitipan anak sehingga perempuan dapat leluasa bekerja. Selanjutnya, mendorong inovasi teknologi.
Istilah lain juga disematkan padanya yaitu “womenomic” atas sukses mereformasi peran perempuan yang semula kental dengan pengaruh tradisi konservatif budaya Jepang, berhasil meningkatkan input perekonomian Jepang dan mengurangi tekanan deflasi, perimbangan gender di dalam arsitektur dunia kerja Jepang sudah mulai meninggalkan pola tradisional.
Di ranah geopolitik, Shinzo Abe melangkah lebih jauh dari pendahulunya menjadikan misi politiknya untuk memperjuangkan dan mempertahankan tingkat stabilitas kawasan. Abe terkenal karena sikap kerasnya dalam hal pertahanan Jepang, terutama dalam hal territorial dan untuk memulihkan Jepang sebagai kekuatan militer yang dinormalisasi. Di usianya yang 67, di kota Nara, dekat Stasiun Yamato-Saidaiji Jumat (8/7), pukul 11.30 waktu setempat, Abe meninggalkan legacy bagi Jepang dan dunia dengan kebijakan yang membuat negaranya mampu keluar dari krisis ekonomi sehingga kemudian dikenang sebagai “Abenomic”.
Selamat Jalan, Sayonara Abe San. (*)