Hal ini tidak mengherankan, bagaimanapun, Sukarno adalah ayah sekaligus guru besar Mega. Dalam potret literasi tentang Soekarno selama berkuasa, sangat identik dengan Mega yang sok populis, partai wong cilik dan hanya untuk rakyat. Padahal perilaku politiknya cenderung otoriter, sentralistik, sekuler, dan lebih memihak pada sosialisme daripada Islam. Selama berkuasa, Sukarno menyingkirkan satu persatu politisi Islam dari panggung kekuasaan, bahkan di tahun 1960 Sukarno membubarkan Partai Masyhumi atas desakan pimpinan PKI. Hal ini merupakan momentum Sukarno berkuasa secara absolut tanpa Hatta hingga menjadi presiden seumur hidup persis seperti Mega yang menjadi Ketua umum PDIP seumur hidup.
Dalam setiap orasinya Sukarno mendogmatisasi loyalisnya dengan beragam jargon politik sebagai ajaran Sukarno yang harus dipatuhi. Mega yang telah menyandang predikat Prof (HC) mendogmatisasi kadernya bahwa koalisi haram bagi PDIP karena koalisi hanya berlaku pada sistem parlementer, sedangkan negara kita menganut sistem presidential. Ajaran tersebut lagi lagi terkesan angkuh dan pongah karena PDIP memang satu satunya partai yang memenuhi clausule presidential threshold (CPT).
Mega mungkin lupa atau tidak tahu jika CPT adalah pembunuh sadis demokrasi karena menghalangi partai pesaingnya mengusung paslon Capres, akibat tidak memenuhi CPT. Untuk lolos CPT, maka solusi tunggal hanyalah dengan koalisi Parpol. Jadi pengharaman koalisi oleh Mega, dapat disebut sebagai penyesatan poltik dan ketatanegaraan kita. Jika suatu ketika PDIP memperoleh suara/kursi di bawah CPT, mungkinkah Mega masih mengharamkan koalisi? (*)