Meski pesta demokrasi masih cukup lama, namun suhu politik di atmosfer Pancasila ini mulai memanas. Entah sengaja atau faktor kebetulan, dua minggu ini sejumlah partai mainstream semakin genit mengumbar platform dan calon presiden yang mereka usung. Menariknya karena semua produk selalu diklaim untuk “kepentingan rakyat”. Frase ini mungkin terlalu klise bahkan cenderung membosankan kalau bukan menyebalkan karena jargon untuk kepentingan rakyat selalu hanya menjadi polesan politik semata demi mendongkrak citra.
Perhatikan saja orasi politik Megawati SP, dalam Rakernas PDIP 21/6/22 yang menegaskan bahwa semua kader PDIP (Ganjar Pranowo?) haram bermanuver politik dan bermain di dua kaki, maksudnya nyapres tanpa rekomendasi resmi dari PDIP. Bahkan Megawati berulang-ulang menyerukan kader seperti ini agar segera angkat kaki atau dipecat sebagai kader PDIP. Orasi Mega berpuncak pada statement bahwa demi kepentingan rakyat, ia satu satunya orang yang berwenang secara absolut untuk menetapkan Capres yang diusung PDIP.
Orasi Mega tersebut tampak merupakan reinkarnasi Sukarnoisme yang kaya dengan jargon demokrasi dan kedaulatan rakyat dan sering jadi lalapan orasi Mega. Paradoksnya karena bagaimana mungkin disebut demokrasi jika penentuan Capres saja ditentukan secara absolut oleh ketua umum. Mega terkesan menjadi single master untuk dikultuskan tanpa boleh ada oposisi. Bayangkan saja Mega yang menduduki kursi Ketua Umum sejak Munas PDI 22-23 Desember 1993, sampai sekarang belum berminat turun panggung. Kalaupun lengser, hampir dapat dipastikan tahta singgasana diwariskan secara dinasti darah Sukarno.