OLEH: Nurhayati Rahman, Guru Besar Fak Ilmu Budaya Unhas
Kawin-mawin di antara para raja di Sulselbar adalah salah satu taktik dan srategi yang dilakukan untuk menghindari konflik dan perang, juga untuk mempersatukan kekuasaan, dan sekaligus dijadikan sebagai sumber pemersatu dan integrasi antar berbagai kerajaan. Terutama pada saat Arung Palakka berkuasa, kawin-mawin itu dilakukan secara massif dengan tujuan untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan di Sulselbar, agar bersatu dalam rangka memperkuat ketahanan dan kesatuan mereka untuk membendung hegemoni kekuasaan Belanda.
Dari sini lahirnya perjanjian Tellung Boccoe. Ketika itu raja-raja di Sulselbar telah bersatu baik melalui negosiasi politik maupun melalui perkawinan, maka tiga kerajaan besar di Sulselbar sepakat memperkuat pertahanan dan kekuasaan mereka melalui perjanjian Tellung Boccoe, yakni Goa, Bone, dan Luwu untuk membendung hegemoni kekuasaan Belanda.
Di bawah payung ketiga kerajaan inilah raja-raja di Sulselbar menyatu, yang sesungguhnya secara genealogis mereka satu darah dari kawin-mawin yang telah berlangsung di antara mereka. Sesuatu yang sangat ditakutkan Belanda bila ketiga kerajaan ini bersatu, yang selanjutnya membuatnya kewalahan menghadapi perang sepanjang sejarah di Sulselbar.
Tellung Boccoe berarti tiga gundukan tanah sebagai simbol kesepakatan yang dijalin dengan sumpah bersama antara tiga kerajaan besar tersebut di atas gundukan tanah tersebut..
Sebelumnya itu, ketika raja Goa masih sangat kuat dan melakukan ekspansi besar-besaran di Sulselbar bahkan di Indonesia timur, maka kerajaan-kerajaan besar Bugis bersatu melakukan sumpah setia yang disebut Lamung Patue di Timurung. Sumpah itu dilakukan oleh Bone, Soppeng, Wajo (BOSOWA) melalui perjanjian Tellung Poccoediikrarkan sambil menginjakkan kaki bersama di sebuah batu gundukan di Timurung sebagai simbol persatuan tiga kerajaan Bugis besar diatas untuk membendung hegemoni kekuasaan Goa.
