English English Indonesian Indonesian
oleh

Empat Wilayah Basis Pemilih Terbesar, Hanya Satu Untungkan Figur Cagub Sulsel: Gowa Solid, Bone Pecah, Luwu Raya Tak Padu

FAJAR, MAKASSAR–Figur calon gubernur (Cagub) Sulsel bisa diuntungkan dengan jumlah pemilih di daerahnya. Terutama dengan basis pemilih besar dan loyal.

Makassar, Bone, Gowa, dan Luwu Raya merupakan basis pemilih signifikan pada Pilgub Sulsel. Secara umum, Makassar (902.491 suara) menjadi basis utama, disusul Luwu Raya, dan terakhir Bone dan Gowa.

Hanya saja, suara di Luwu Raya yang mencapai 783.221, merupakan pemilih dari empat daerah. Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Luwu. Empat daerah ini menjadi satu peta gepolitik. //Selengkapnya lihat grafis//.

Pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas) A Ali Armunanto mengatakan pemilih berdasarkan wilayah ini menjadi modal para figur untuk maju pada Pilgub 2024. Hal ini terkait loyalitas pemilih dan keterikatan pemilih dengan figur.

Berdasarkan pengalaman, pemilih di Gowa selalu solid. Jika keluarga Yasin Limpo maju, pasti menang di Gowa.

“Mulai dari Pak Sahrul (paman Adnan), terus Pak Ichsan (ayah Adnan), selalu menang di Gowa. Entah karena memang mereka jadi bupati di situ atau apa. Tapi yang pasti selalu solid,” jelas Ali, malam tadi.

Hal berbeda terjadi di Bone yang selalu terpecah. Hal tersebut bisa dilihat, mulai dari waktu Amin Syam dan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) ketika mencalonkan gubernur.

Kabupaten Luwu juga demikian. Antara Kota Palopo dan Luwu Raya, juga tidak solid.

Sehingga meskipun Luwu Raya dan Bone jumlah pemilihnya besar, tidak bisa merepresentasikan keseluruhan wilayah. Pemilih tidak pernah solid.

“Misalnya Azis Qahhar di Luwu Raya. Juga terjadi hal yang sama dengan Nurdin Halid di Bone. Sementara di Gowa, mulai riwayatnya Pak Syahrul, hingga Adnan itu selalu solid,” jelas Ali.

Jadi ketika politik identitas digunakan untuk Luwu Raya dan Bone, itu tidak akan berhasil. Yang perlu dibangun di wilayah itu adalah kedekatan personal. Bukan politik identitas.

“Di Gowa, kalau Adnan maju, maka kemungkinan besar dipilih. Karena selalu menang dalam pemilihan. Apalagi Pak Adnan dalam memimpin itu memiliki citra yang bagus bagi warga Gowa,” jelasnya.

Di Makassar, juga bukan politik identitas. Mereka merupakan wilayah plural dan sebagian besar adalah pemilih rasional.
Jadi yang memenangkan Makassar adalah orang yang punya visi dan misi politik yang bagus.

“Jadi Bone tidak bisa diklaim pasti dimenangkan orang Bone, Luwu juga tidak bisa diklaim. Tapi Gowa, bisa dimenangkan oleh orang Gowa. Jadi ada dua karakteristik dari wialyah-wilayah ini,” imbuhnya.

Ada Kekuatan

Sukri Tamma yang juga pengamat politik Unhas mengatakan, secara sederhana bisa dilihat bahwa para kepala daerah dengan basis pemilih besar, punya peluang. Mereka telah mendapat dukungan yang cukup signifikan pada saat ikut Pilkada.

“Pak Adnan calon tunggal yang mendapat 90 persen lebih, Pak Fashar di Bone juga cukup bagus, begitu pun juga dengan Bu Indah di Luwu Utara,” katanya.

Suara pada Pilkada bisa dianggap sebagai modal awal. Pertanyaannya, jika mereka maju pada level yang lebih tinggi, apakah basis itu bisa masih diperoleh?

Hal itu nanti akan sangat bergantung pada beberapa hal. Pertama, bagaimana kemampuan mereka menunjukkan kinerja bahwa memang baik sebagai kepala daerah.

Sehingga basis yang memilih mereka kembali itu, kemudian merasa tidak salah memilih. Kedua, juga sangat ditentukan dari sosok lawan pada pilgub. “Karena di pilgub itu lawannya lebih luas. Dari tokoh politik yang lebih besar,” tekannya.

Hal-hal yang dikerjakan kapala daerah ini di wilayah masing-masing juga sangat menentukan. Masyarakat akan menilai dan bisa membandingkan dengan calon yang datang dari luar wilayah mereka.

Sukri menilai ada yang sedikit berbeda dengan Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani.

“Ibu Indah, kan, basisnya ada di Luwu Utara. Pertanyaannya, apakah Bu Indah bisa merepresentasikan Luwu secara keseluruhan. Ini juga menjadi pertanyaan, karena di Luwu juga ada kepala daerah lain,” jelas Sukri.

Kepala daerah lain ini juga punya basis loyal. Sehingga menjadi tantangan bagi Indah untuk bisa merepresentasikan bahwa ia mewakili Luwu.

Peluang ini juga bisa diraih Indah, ketika tidak ada tokoh lain yang maju di Luwu. Jika ada tokoh lain, ia bisa kesulitan. “Karena selama ini, juga ada keluarga Qahhar Mudzakkar, misalnya, dan beberapa bupati yang sudah dua periode,” ungkap Sukri.

Khusus Adnan, Sukri menilai bahwa ia lebih punya peluang besar menguasai suara pemilih di daerahnya. Pasalnya, klan Limpo selalu bisa menguasai wilayah Gowa.

“Nah, kalau Pak Adnan bisa memaksimalkan dan menjaga performanya, maka bisa menjadi modal besar,” tekannya.

Basis Pemetaan

Pengamat politik Unismuh A Luhur Prianto menilai perspektif geopolitik sering menjadi basis pemetaan dukungan politik. Meskipun dengan melihat hasil-hasil proses politik yang terjadi sejauh ini, kerangka analisis ini tidak cukup relevan.

Pengalaman Pilkada Sulsel, selalu ada bias geopolitik. Akan sulit menjelaskan kemenangan NA-AAS pada Pilgub 2018 kalau hanya menggunakan perspektif geopolitik basis dukungan.

Kekuatan basis-basis dukungan berlatar wilayah kultural-administratif, tidak mempertimbangkan dinamika internal di basis-basis geopolitik itu. Termasuk menegasi peran oligarki politik yang makin dominan.

Kepala daerah yang populer ini juga punya haters (pembenci) di basis dukungannya, sekaligus bisa punya loyalis di basis dukungan yang lain.

“Pengalaman NA, kemampuan enggagment (kedekatan) dengan pemilih di luar basisnya tidak lepas dari peranan media yang terus membentuk citra kepemimpinan positif,” terang Luhur. (mum/dir-zuk)

SELENGKAPNYA BACA KORAN FAJAR EDISI SENIN, 13 JUNI 2022

News Feed