FAJAR, MAKASSAR-Pembangunan dianggap sebagai cara terbaik manusia untuk mendatangkan kesejahteraan hidup. Namun, pembangunan tidak selalu ramah terhadap semua kelompok sosial. Ketidakramahan pembangunan terhadap kelompok tertentu bahkan mendapat legitimasi dalam penafsiran agama, hukum, dan budaya yang dianggap lebih tinggi, lebih bermoral, dan lebih beradab.
Diskriminasi dan kekerasan berlapis sering dialami oleh perempuan, anak, dan disabilitas. Jika seorang perempuan dewasa mengalami kekerasan dan diskriminasi maka dia hanya mengalaminya sebagai perempuan. Demikian juga jika seorang anak laki-laki yang mengalami kekerasan dan diskriminasi, maka dia mengalaminya sebagai anak. Namun berbeda jika seorang perempuan penyandang disabilitas atau seorang anak perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan dan diskriminasi.
Perempuan penyandang disabilitas mengalami diskriminasi dan kekerasan sebagai perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Sedangkan seorang anak perempuan penyandang disabilitas mengalami diskriminasi dan kekerasan karena tiga status yang disandangnya, yakni sebagai anak, sebagai perempuan, dan penyandang disabilitas.
Inilah yang disebut diskriminasi dan kekerasan bertingkat dan berlapis. Diskriminasi dan kekerasan masih akan bertambah, jika perempuan atau anak perempuan tersebut berasal dari suku minoritas atau penganut agama atau keyakinan minoritas, apalagi yang tidak diakui negara.
Diperlukan upaya bersama dalam pembangunan untuk menghapuskan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan dan minoritas, menghubungkan dan membuka akses layanan pemerintah, mendorong dan memperkuat keberdayaan masyarakat untuk mengadvokasi hak-haknya sebagai warga negara.