Maka berada di tengah, tidak berlebihan dan tidak kekurangan itulah jalan yang dianjurkan dalam agama. “Cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekadar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberi tenaga). Jika tidak bisa, maka hendaklah ia memenuhi sepertiga lambungnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernapas”. (HR. At-Tirmidzi). Nasihat Nabi inilah yang dipertegas dalam Al-Qur’an “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Namun, dalam kenyataannya berlebih atau boros adalah salah satu sifat manusia sebagai makhluk konsumeristik. Apalagi jika dikaitkan dalam hal makanan dan minum. Konon manusia Indonesia banyak menghabiskan uang hanya untuk makan dan minum. Belum lagi makanan siap saji yang ditawarkan lewat online dengan berbagai kemudahan.
Sayangnya kesadaran untuk berhemat tidak dibarengi dengan nafsu makan yang tidak terkontrol. Begitu banyak makanan tersisa dan akhirnya masuk di tong sampah dianggap hal lumrah. Membuang makanan kadang bukan hanya kenyang, sebagian orang juga kerap membuang makanan tanpa alasan yang jelas dengan penuh kesadaran. Padahal begitu banyaknya saudara kita yang butuh makanan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga belahan bumi lain yang tidak seberuntung kita.
Mereka kekurangan bahan pangan, terutama di negara-negara Afrika, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan kalori mereka dengan makan sehari-hari. Di sisi lain, perilaku membuang sisa makanan dapat memicu timbulnya permasalahan lingkungan akibat semakin menumpuknya sampah. Di Amerika Serikat, persentase jumlah sampah makanan berada di angka yang mencengangkan, yakni 40 persen. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, lebih dari 80 persen dari sampah yang dibuang ternyata masuk dalam kategori sampah edible (masih layak dimakan). Di Indonesia setiap orang rata-rata membuang makanan setara Rp2,1 juta pertahun. Jika dirata-ratakan penduduk Indonesia yang membuang makanan mencapai Rp330 triliun (Kompas, 19/5). Wallahu a’lam. (*)