“Saya rindu kepada anak-anak. Saya punya beban moral kepada mereka. Saya punya tanggung jawab sebagai pendidik dan pengelola TK. Kebetulan pada saat itu, ada juga kerja-kerja administrasi yang harus diselesaikan. Saya malah bawa tugas ke rumah dan mengerjakannya di atas kasur,” kata Mursyida.
Nadanya tak teratur. Ia terisak. Ia memegang tangan suaminya yang berpegang di kursi roda, lalu berujar, “Semua itu dapat kulakukan karena ada suamiku yang tidak pernah mengeluh mendampingiku. Suamiku inilah yang menggendong saya ke becak motor. Ia juga harus ikut ke sekolah untuk gendong saya turun dari becak. Ia juga menunggui sampai saya pulang.
Sambil mengelap air matanya, Mursyida mencoba mengangkat kaki kirinya, tapi tiba-tiba meringis. Wajahnya tegang, memerah. Ternyata engkel kakinya belum bisa berfungsi. Kata dokter, masih harus menunggu satu tahun untuk bisa coba berdiri. Itu pun harus pakai penopang.
Dalam kondisi seperti itu, Mursyida tetap bersemangat setiap pagi sudah tiba. Ia harus hadir di sekolah. Ia rindu kepada anak murid. Ia teguh pada tanggung jawab.
Tak salah jika almarhum ayahanda Mursyida, Asfar, memberinya nama Daeng Intan sebagai “paddaengan”. Sebuah tradisi masyarakat Bugis-Makassar untuk memberi karakter dan nilai pada sebuah nama anak jika sudah dewasa. Permata intan, di manapun berada, akan tetap mulia. Intan, dalam kondisi bagaimanapun, ia tetap benda mulia yang terus dibanggakan. Cepat-Ki sembuh Daeng Intan. (*)