Stigma lain yang berbentuk kekerasan terminology adalah kategori animisme dan dinamisme, yang bukan hanya gagal menjelaskan, tetapi membunuh identitas lokal. Bentuk kepercayaan pra-Islam oleh-oleh buku-buku pelajaran di sekolah secara brutal membuat kesimpulan sebagai pemuja roh atau penyembah batu dan pohon besar.
Perubahan pasti terjadi dan akan menemukan polanya sendiri. Begitu pula dengan budaya kita. Dengan demikian, memang penting kiranya memberi ruang bagi munculnya penafsiran baru yang memang berpeluang lahir dari proses resistensi, agar budaya dan perjalanan sejarah kita tak hanya tumbuh di atas kebanggaan masa lalu. Karena, apa gunanya kebanggaan, pada sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu, di atas tanah ini, tapi gagal direproduksi untuk menjawab tantangan hari ini?
Jadi, alih-alih memajukan budaya, kegagalan kita menyelamatkan budaya, justru terjadi kita gagal memahami konteks, kehilangan makna dari setiap ritual adat. (*)