Kondisi itu bisa dengan jelas dibaca pada Pertemuan wija (keturunan) La Patau beberapa bulan lalu. Pertemuan keturunan itu seakan ingin menguatkan indikasi bahwa orang-orang yang (di)ada(kan) dalam daftar silsilah raja sedang berupaya menarik garis demarkasi yang akan memisahkan mereka dari ‘to sama’ (warga biasa). Untuk apa? Simpelnya: status sosial adalah definisi dan akses ekslusif terhadap kekuasaan.
Mengapa? Bukankah raja juga milik rakyat? Lebih dari sekadar eksistensi kebangsawanan, bukankah klaim keturunan sangat mungkin terjadi distorsi jika ia ditarik jauh dari era abad ke-16?
Sejarah yang masih istanasentris
Pentingkah generasi kini memahami budaya? Tentu saja. Generasi kini seharusnya mampu melakukan refleksi berdasarkan apa yang mampu mereka amati dan rasakan. Dengan begitu, akan terjadi reproduksi gagasan, yang bisa saja menghasilkan konstruk baru dari budaya. Sayangnya, sejarah kita terlanjur eksklusif yang ditulis dan dibaca oleh orang-orang yang ada di lingkungan Istana. Mana ada Lontara yang membahas tentang Labaco atau Labeddu yang hidup jauh dari Saoraja?
Di mata awam, orang kebanyakan melihat bissu tak lebih dari sekadar ornamen adat. Bahkan, citra bissu lebih banyak diidentikkan secara bias gender, dengan sebutan ‘bencong’, misalnya. Apa lacur, HJB terlanjur digelar tanpa bissu. Saya mendengar seorang berujar, “lihatlah, acara berlangsung sukses, tanpa gangguan berarti… meski tanpa bissu”.
Kekerasan terminologi
Komunitas bissu dan umumnya sistem kepercayaan pra-Islam mendapatkan stigma yang ahistoris, lewat ungkapan syirik. Ritual mereka secara serampangan dicap sebagai menduakan Tuhan. Padahal, dalam pengertian bissu, mereka justru sedang berkomunikasi dengan Tuhan.