Kehadiran person yang dianggap budayawan juga tak luput dari sorotan, kehadirannya memantik perdebatan karena seolah mengganti posisi Bissu dalam ritual sakral. Dari konteks ini juga menunjukkan pola terstruktur dari suatu ritual yang sudah turun temurun telah diobrak-abrik.
Menanggapi hal tersebut, Apa yang kemudian menjadi tolak ukur? Meskipun terdapat narasi penawaran kepada Bissu untuk tetap hadir dan memimpin ritual dengan mengubah tampilan, menggunakan jas demi bisa membawa baki’ berisi benda pusaka. Namun, hal ini menjadi rancu dan patut dipertanyakan, karena jelas merupakan tindakan di mana pemerintah tengah membuat naskah baru yang berpotensi untuk mengeksklusi identitas dan eksistensi Bissu.
Kekosongan posisi Bissu pada Hari Jadi Bone secara gamblang menghadirkan problematika serius diantara masyarakat dan pemerintah. Meminjam konsep governmentality dari Michel Foucault, bahwa dinamika polarisasi individu maupun kelompok yang berkuasa, mempunyai power beserta seperangkat hukum menjadikan kelompok lain, dalam hal ini Bissu cenderung patuh akan kebijakan yang dikeluarkan. Sehingga ketidakterlibatan Bissu pada Hari Jadi Bone merupakan bentuk kepatuhan Bissu yang dideteksi sebagai penaklukan dan hegemoni oleh pemerintah. Hegemoni ini terjadi tidak secara langsung melainkan dengan berbagai problematika yang sebelumnya terjadi.
Dalam pandangan saya, Bissu sebagai kelompok spiritual menegaskan posisinya dengan bentuk ritual, sehingga ketidakterlibatannya pada Hari Jadi Bone adalah sebuah deotorisasi, suatu pelemahan identitas dan eksistensi. Pemerintah telah menujukkan kecendrungannya untuk mengeliminasi Bissu dari akarnya. Imajinasi perayaan Hari Jadi Bone yang seharusnya sakral, namun dengan posisi Bissu yang diganti oleh seorang dianggap budayawan menjadi lelucon yang dipertontonkan. Pengetahuan seorang yang dianggap budayawan telah diadu dengan kepentingan-kepentingan aktor di ruang sakral. Pada akhirnya kejadian ini mencerminkan hal bertentangan dari indikator seorang budayawan.