English English Indonesian Indonesian
oleh

Perkara Bissu: Ke Bone Kita Hilang, Bukan Healing!

Oleh: Feby Triadi

Magister Antropologi UGM dan Peneliti Bissu

Nilai, norma, moral, etika dan estetika adalah hasil perjalanan panjang sebuah bangsa. Hasil perjalanan itu kemudian membentuk tatanan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, hal itu juga terimplementasi dalam berbagai ekspresi gerak, wujud dan pola untuk mendapatkan berkah Sang Pencipta.

Beratus tahun orang-orang di tempat saya sudah terwarisi oleh warisan leluhurnya, person putih yang kemayu (bissu) membuat suatu perpaduan yang selaras dan identik, lalu hal identik itu nantinya akan menciptakan identitas. Di momentum Hari Jadi Bone (HJB) ke-692 serasa identitas itu sedang diobok-obok, jika dalam pandangan hukum, ini adalah kriminal dengan sangsi besar.

Bagaimana tidak, pencapaian Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone pada tahun 2011 telah sukses mendaftarkan tari Sere Bissu sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dan pada tahun 2020 sudah mendapatkan penghargaan atas pencapaian itu. Turunan yang kemudian perlu dilakukan adalah pelestarian dan transmisi pengetahuan makna tari sere bissu dalam berbagai ruang kehidupan sosial masyarakat.

Namun, yang terjadi pada penghelatan Hari Jadi Bone ke-692 justru sama sekali tidak menampilkan para bissu sebagai pemeran utama dalam seluruh rangkaian upacaranya, mengapa ini bisa terjadi?

Mari kita ulas satu-satu. Pertama, dari beberapa situs media online melansir jika para bissu tidak enak hati karena merasa tidak ingin dilibatkan sebagai pengantar nampan (baki’) di hari H prosesi mattompang,  tetapi pada prosesi malekke uwae dan pra-mattompang mereka bisa melaksanakan itu.

News Feed