Setelah saya mencoba untuk mendapatkan penuturan dari pihak bissu, mereka membeberkan jika memang mereka ditawari hanya ada di dua prosesi sebelum hari H. Sehingga pihak bissu kembali memberikan penawaran, jika mereka bisa untuk mengubah tampilan (memakai jas tutup) hanya untuk diberi kepercayaan membawa nampan tempat benda pusaka disimpan untuk diarak ke panggung.
Lalu, muncul pertanyaan mengapa mereka ditawari untuk tidak hadir di hari H? Mengapa pula mereka malah bersikukuh untuk membawa nampan?Siapa yang ingin disenangkan dalam HJB 692 ini? Ke mana pihak Dewan Adat/Pemda tidak menentapkan sikap untuk menghadirkan bissu? Untuk apa penghargaan WBTB yang selalu disebut sebagai pencapaian gemilang Dinas Kebudayaan? Bukankah ini memundurkan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan?
Kedua, siapa juga yang berani menggantikan bissu dalam semua rangkaian upacara ini? Jika ia seorang budayawan, di mata saya dia tidak lebih seorang “buaya-wan” yang tidak mampu lepas dari krengkeng pemerintah atau sekalian saja dilabeli sebagai seorang budayawan pemerintah! Namun jika ia aktor, perannya sukses menghelat upacara tahunan yang mestinya sakral dan penuh dengan khidmat dari masing-masing hadirin.
Ketiga, dari sisi kajian sosial budaya yang ada di Sulawesi Selatan, Bone merupakan salah satu kerajaan besar di antara Gowa dan Luwu. Kerajaan Bone memegang peran penting sebagai representasi dari suku Bugis yang memiliki pandangan khas tentang bissu, saat ini bissu hanya ada di empat kabupaten yang diakui secara administratif pemerintahan. Namun, secara kultural empat kabupaten itu masih dalam rumpun yang sama, yakni Bugis.