TESTIMONI: Semakin Ngeri Ini Makassar, berasal dari pemikiran Suwedi, seorang kritikus dan staf pengajar FISIP Unhas, dalam melihat penyakit kronis dialami Kota Makassar. Pemikiran bernas dari sosiolog muda ini, lahir dari fenomena dalam melihat tawuran telah memakan korban jiwa terkena busur. Korban dan pelakunya, anak dibawah umur, demikian pesan singkat yang masuk di WA pribadi penulis.
Jika kita menelisik, tulisan penulis: “Surat Terbuka kepada Kapolda dan Kapolrestabes Makassar,” edisi 13 Maret harian.fajar.co.id danmenjadi trending topic di media sosial. Sehari kemudian muncul polemik dengan tema: “Makassar Perlu Penanggulangan Tawuran” ditulis Yarifai Mappeaty, pemerhati sosial. Kontestasi wacana ini, ternyata pihak Kapolda, Kapoltabes dan Wali Kota Makassar tak “bergeming” dalam melihat realitas sosial.
Bukti anyar tawuran, kematian Moh. Haidar alias Aco (13/3/2022) akibat tertembus busur didada kiri, akhirnya meninggal dunia. Penyakit telah korban jiwa tak dapat dihentikan pihak aparat kepolisian dan pemerintah kota Makassar. Korban tak hanya pelaku tawuran tapi masyarakat tidak berdosa.
Sebagai contoh, yang terhormat, Pak Kapolda dan Pak Wali Kota Makassar: (Pertama) ada bayi dari warga Paccelan terkena busur di pipinya (diberitakan berbagai media sosial, edisi 22 Februari 2022). (Kedua) Polisi kena anak panah, di tempat berbeda satu polisi kena busur tepatnya di dada. Satunya lagi, polisi terkena anak panah di paha, (sumber media sosial dan berita CNN, edisi 11 Desember 2021). Berita terbaru, setelah kematian Aco, masih ada lokasi tawuran terjadi di daerah Pongtiku pada 19 Maret 2022, anak usia 15 tahun, Muh. Rayhan, anak panah tertancap kepala belakang.