Dari pihak kritis, menganggap beberapa penjelasan tersebut bisa diterima, tapi dengan catatan bahwa sebenarnya kejadian yang terjadi saat ini, itu sebenarnya disebabkan sebagai akibat kebijakan otoritas terkait dengan industri migor yang kurang antisipatif dan kompatibe dengan kondisi perkembangan yang terjadi. Sehingga bisa menimbulkan masalah dalam tata kelola minyak goreng ke depannya.
Salah satunya, justru akibat kebijakan kenaikan Domestic Market Obligation (DMO), yang telah diberlakukan Mendag tanggal 10 Maret 2022, yaitu menjadi 30 persen dari sebelumnya 20 persen.
Kebijakan ini dijelaskan sebagai cara untuk membenahi pendistribusian migor agar lebih baik sesuai harapan.
Tapi masalahnya, kebijakan tersebut dinggap tidak memperhatikan kondisi di lapangan, diantaranya dianggap ada kontradiksi antara klaim pasokan crude palm oil (CPO) di hulu dengan fenomena migor langka.
Sebenarnya, kebijakan DMO CPO yang sudah ada, yakni 20 persen seharusnya sudah mencukupi. Jadi seandainya pasokan di hulu aman maka mengapa harus ada kenaikan DMO CPO jadi 30 persen.
Kebijakan terakhir ini dimaksudkan utamnya agar semua pihak yang akan mengekspor mesti menyerahkan domestic market obligation 30 persen.
Namun prinsipnya, kebijakan DMO dan DPO dimaksudkan agar para produsen maupun eksportir dapat memperkecil margin keuntungan di dalam negeri sehingga ketersediaan stok migor dapat dikendalikan. Tapi rupanya, hingga saat ini efeknya belum dirasakan di tingkat retail minyak goreng khususnya.
Oleh karena itu diharapkan pihak Kemendag perlu mengawasi secara ketat penerapan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak sawit khususnya.